PT KBN
Jakarta, Jurnas.com – Pengamat Hukum dari Universitas Muslim Indonesia, Makasar, Fahri Bachmid, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan kepada publik secara berkala perihal adanya dugaan korupsi di PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN).
Dugaan korupsi di PT KBN ini dilaporkan oleh Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) Jakarta Utara. Nilai dugaan korupsi yang disebut KBNU mencapai Rp 64 miliar.
"KPK harus menyampaikan progres apakah hasil dari penyelidikan sudah menemukan dua alat bukti. Itu harus diinformasikan kepada publik," ujar Fahri kepada wartawan, Kamis (31/10/2019).
Kata Fahri, KPK semestinya menyampaikan ke publik apapun progres yang sudah didapat. Lembaga anti korupsi tak semestinya diam-diam saja terkait kasus yang mendapat perhatian masyarakat luas.
"Tidak ada salahnya juga kelau disampaikan ke publik. Misalnya masih ada pendalaman, penyelidikan, atau masih pengembangan," imbuhnya.
Ditanya apakah KPK perlu memeriksa Dirut dan jajaran direksi PT KBN?Fahri menilai hal itu memang penting. Sesuai undang-undang Tipikor, kata Fahri, KPK berhak memanggil dan memeriksa siapapun.
"KPK bisa memanggil siapapun. Yang menjadi aneh kalau KPK tidak melakukan pemanggilan atau pemeriksaan itu," tukas Fahri yang juga eks pengacara Jokowi-Ma’ruf Amin dalam kasus sengketa Pilpres di MK ini.
Bagi Fahri, KPK tidak boleh bersikap diskriminatif dalam menangani dugaan kasus korupsi. Apalagi, dugaan korupsi tersebut merugikan keuangan negara cukup besar dan mendapat perhatian publik.
"Idealnya sesuai UU, KPK tidak diskriminatif. Kalau memang ada peristiwa hukum tanpa ada unsur dari mana asalnya, ya semua orang harus dipandang sama. Kalau ada indikasi korupsi ya KPK harus menindak. Jangan ada kesan diskriminarif dalam penegakan hukum," imbuhnya.
Dugaan korupsi di PT KBN ini merujuk hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seperti disampaikan KBNU Jakarta Utara. Menurut Fahri, hasil audit BPK tidak serta merta menjadi dasar bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
"Tapi hasil audit itu bisa menjadi pintu masuk. Hendaknya itu menjadi pintu masuk bagi KPK dalam melakukan serangkaian penyelidikan. Jangan berhenti, telisik lebih dalam," ujarnya.
Kata Fahri, jika perkara dugaan korupsi yang tidak tuntas di masa kepemimpinan Agus Raharjdo, itu menjadi pekerjaan rumah bagi pimpinan KPK periode selanjutnya, yakni Irjen Firli Bahuri.
"Semua perkara harus dituntaskan. Kalau pak Agus Raharjo tak bisa maka perkara-perkara harus di take over oleh KPK yang baru. Perkara-perkara itu harus menjadi prioriras utama," katanya.
Kedepannya, Fahri meminta agar pemberantasan korupsi terintegrasi, baik dalam fungsi pencegahan dan penindakan. Lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti Kejaksaan dan kepolisian harus juga diberdayakan. Dengan demikian, lanjut Fahri pemberantasan korupsi terintegrasi.
"Jangan lagi menoton ke KPK, sehingga Kejaksaan dan Kepolisan menjadi penonton. Jadi harus proporsional. Kemudian, OTT memang harus ada. Tapi barangkali jangan hanya OTT. Pemberantasan korupsi intinya pada laporan masyarakat temuan-temuan atau non OTT," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai kinerja KBN cukup jeblok dan itu dapat dilihat dari penurunan pendapatan usaha mereka.
Ia juga membeberkan, pendapatan KBN pada 2017 mencapai Rp555,44 miliar. Namun pada tahun 2018 pendapatan usaha KBN hanya sebesar Rp473,41 miliar. Dengan demikian, kata Uchok, dari tahun 2017 sampai 2018 penurunan pendapatan KBN sebesar Rp82 miliar.
"Artinya kalau terjadi terus-menerus PT KBN bisa bangkrut. Makanya sebelum PT KBN ini bangkrut, Menteri BUMN Erick Thohir untuk segera memecat Sattar Taba karena tidak ada prestasi apapun buat PT. KBN," tegas Uchok.
KPK PT KBN Dugaan Korupsi