Lambang Partai Golkar
Jakarta, Jurnas.com - Upaya Airlangga Hartarto memaksakan pemilihan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar secara aklamasi pada Munas nanti menggambarkan keengganan dalam melakukan konsolidasi ke pengurus DPD II tingkat kabupaten/kota.
Demikian disampaikan Direktur Job Politicoon Indonesia, Asep Gunawan, kepada wartawan, Jakarta, Jumat (15/11). Menurutnya, aklamasi terlihat sebagai ‘shortcut’ atau jalan pintas Airlangga yang tidak mau menjangkau DPD II, namun ingin menjadi Ketum lagi dengan hanya menguasai mayoritas DPD I.
"Perlu diingat, pemilik suara yang paling signifikan dalam Munas Golkar sesungguhnya adalah DPD II tingkat Kabupetan/Kota yang berjumlah 514. Sementara DPD I tingkat Provinsi cuma berjumlah 34," kata Asep.
Menurutnya, jika Airlangga enggan mendengarkan aspirasi 514 DPD II namun memaksakan aklamasi, hal ini justru bisa membawa masalah yang bisa berujung terbelahnya kembali Partai Golkar.
"Sebaliknya, DPD Golkar, baik di tingkat I maupun II hendaknya tidak gampangan untuk dilobi untuk memaksakan aklamasi, sementara kondisi sebenarnya aspirasi kader-kader di daerah sangat beragam. Aklamasi tidaklah salah, jika tidak dipaksakan. Namun, kalau dipaksakan itu namanya antidemokrasi," terangnya.
Luhut Panjaitan sebelum Airlangga Mundur Ketum Golkar: Kita Harus Kompak, Jangan Mau Diintimidasi
Munas Golkar, kata Asep, harusnya menjadi momentum kader-kader di daerah untuk menaikkan posisi tawar di hadapan pimpinan pusat partai.
"Semakin banyak calon, justru bagus untuk DPD, karena mereka akan dijangkau dan ditampung aspirasinya oleh para calon ketua umum," katanya.
"Sebaliknya, semakin sedikit calon, apalagi calon tunggal dengan aklamasi, tentu calon tersebut semakin merasa tidak perlu memerhatikan kader-kader di akar rumput, karena merasa sudah akan menang dengan gampang," demikian Asep.
KEYWORD :Munas Golkar Ketum Golkar Airlangga Hartarto