Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung bersama dengan Menteri Pertanian (Mentan), Bungaran Saragih (Foto: Supi/Jurnas)
Jakarta, Jurnas.com - Mantan Menteri Pertanian (Mentan), Bungaran Saragih menilai sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) terlalu diskriminatif karena hanya menuntut sertifikasi pada komoditas emas hijau tersebut.
Demikian kata Mentan Periode 2000-2004, saat menjadi pembicara dalam diskusi "Evaluasi Penyerapan CPO Bersertifikat di Pasar Global" yang selenggarakan Majalah Sawit Indonesia di Gedung Pusat Informasi Agribisnis (PIA), Kementerian Pertanian (Kementan), Selasa (26/11).
Ia mengatakan, seharunya sertifikasi sustainability tidak hanya diberlakukan pada satu komiditas, yaitu kelapa sawit saja, tapi seluruh komoditas yang diperdagangkan secara internasional.
"Padahal kewajiban sustainability ini bersifat menyeluruh baik dalam perundang-undangan berlaku di Indonesia maupun platform Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah diratifikasi di Indonesia," katanya.
Menteri Kabinet Gotong Royong itu juga mengatakan, konsumen minyak sawit dunia yang selama ini menuntut sustainability ternyata inkonsisten. Penyerapan pasar CPO bersertifikat sustainablity baru sekitar 60 persen dari produksi CPO bersertifikat sustainability.
Menurutnya, konsep sustainability yang berlaku dan diadopsi sekarang ini baik Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) maupun RSPO merupakan konsep absolute sustainability dengan dua kategori, yakni sustainable or unsustainable.
Pendekatan sustainability bersifat mutlak dinilai kurang tepat. Padahal, sustainability ini merupakan konsep relatif yakni lebih sustainable (more sustainable) dari sebelumnya atau dibandingkan yang lain.
Adapun perwakilan petani yang hadir dalam diskusi mengakui terjadi ketidakadilan bagi petani peserta RSPO. Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung, menyebutkan anggotanya dikejar-kejar mengikuti sertifikasi RSPO. Namun, harganya tetap sama.
"Mereka (petani) dijanjikan harga bagus. Tapi tidak ada. Permintaan minyak sawit bersertifikat lebih rendah dari produksi. Pembeli yang ingin minyak sawit bersertifikat jumlahnya juga sedikit. Artinya, tuntutan sertifikat bagian politik dagang negara pembeli seperti Eropa," kata Gulat.
"Kita dituduh merusak hutan dan lingkungan. Padahal, yang menuduh belum tentu pahan dan mengerti sawit," tegas.
Para pembicara sepakat bahwa Indonesia harus berdaulat di kancah perdagangan sawit global. Bungaran mengakui program B30 dapat meningkatkan permintaan minyak sawit domestik dan sebaiknya dapat berjalan konsisten.
Saat ini, pasar CPO terbesar berada di India dan Tiongkok. Termasuk juga kebutuhan pasar domestik setelah B30 berjalan.
"Tapi, kita harus paham bahwa Indonesia punya peluang mengisi kebutuhan pasar minyak sawit dunia. Kita harus melihat peluang itu, jangan diabaikan. Itu sebabnya, produktivitas dan kualitas harus diperhatikan bersama," pungkas Bungaran.
KEYWORD :Sertifikat RSPO Bungaran Saragih