Presiden Amerika Serikat, Donald Trump : (Foto: CGTN)
Jakarta, Jurnas.com - Direktur Departemen Amerika Latin Kementerian Luar Negeri Rusia Alexander Shchetinin mengatakan, krisis saat ini di negara-negara Amerika Latin disebabkan oleh ambisi Washington untuk meningkatkan kontrol atas kawasan tersebut, pada Rabu (27/11) selama sesi Klub Diskusi Valdai.
"Dalam beberapa tahun terakhir, mitra AS kami telah tertarik untuk memperbaiki kawasan itu, memformatnya kembali, meningkatkan kontrol terhadapnya," katanya dilansir Tass.
"Mereka telah menarik Doktrin Monroe yang berusia 200 tahun dari kayu," tambah Shchetinin.
Menurut diplomat Rusia, doktrin itu menjalani pemeriksaan cepat pada bulan April tahun lalu, setelah menjadi syarat yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan regional. Ia mencatat bahwa doktrin ini dibagi menjadi berbagai elemen.
"Ini mencakup kebijakan yang dinyatakan secara terbuka yang bertujuan untuk menggulingkan rezim yang tidak diinginkan dan penghancuran terang-terangan banyak proyek integrasi utama. Tentu saja, itu juga melibatkan pengetatan ketat nilai-nilai neoliberal untuk sejumlah negara," jelasnya.
Namun, diplomat itu mencatat bahwa kebijakan sanksi AS belum berhasil di semua negara bagian Amerika Latin. "Pemerintah Kuba mempertahankan posisinya dengan percaya diri. Pukulan terhadap pemerintah Maduro di Venezuela juga gagal," katanya.
"Mengambil pendekatan yang disederhanakan ke wilayah tersebut, pandangan yang disederhanakan dari wilayah tersebut adalah kesalahan besar," kata Shchetinin.
Dia menekankan pentingnya mengakui masalah-masalah kawasan, menghormati keanekaragaman dan keadaannya, bukannya mencari campur tangan pihak luar. "Sayangnya, ada upaya untuk menyalahkan siapa pun, termasuk kita," katanya.
Shchetinin menekankan bahwa Rusia tertarik pada stabilitas di Amerika Latin. "Kami bersahabat dengan semua negara bagian dan pemerintah, mendukung dialog politik normal dan kerja sama ekonomi. Kami akan terus mengembangkan kebijakan ini di masa depan," pungkasnya.
KEYWORD :Amerika Latin Krisis ekonomi