Siswa Natuna mendapatkan tablet gratis dari Kemdikbud (Foto: Muti/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - Nominal sebesar Rp1.277 triliun untuk pendidikan dalam kurun waktu 2016-2018, rupanya sedikitpun tak berdampak pada peningkatan ranking Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia.
Alih-alih memperbaiki posisi yang empat tahun lalu berada di posisi ke-62 dari 70 negara, pada PISA 2018 Indonesia malah melorot ke ranking ke-72 dari total 77 negara yang disurvei oleh The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Hasil ini, menurut praktisi pendidikan, Indra Charismiadji merupakan alarm bagi dunia pendidikan Tanah Air. Dia menganggap ribuan triliun yang keluar dari kantong pemerintah terbuang percuma.
"20 tahun enggak ada perubahan, padahal anggaran ribuan triliun. Ini kan berarti program harus dievaluasi. Semuanya. Mau (itu) pelatihan guru, perekrutan guru, Dana BOS, DAK, semuanya harus dievaluasi," tegas Indra usai pengumuman PISA 2018 di kantor Kemdikbud pada Selasa (3/12) kemarin.
Indra menyalahkan pemerintah yang hingga saat ini tidak memiliki cetak biru (blue print) pendidikan. Sebagai dampaknya, berbagai program yang ditelurkan gagal mendongkrak kualitas pendidikan.
"Data guru saja enggak pernah sama, gimana mau punya blue print? Butuh guru berapa? Taruh di mana? Kualitas? Penghasilan? Kenapa enggan mau dibikin sekarang? Kan gampang tinggal pakai satelit," kata Indra.
Bila menengok hasil PISA 2018, skor membaca, matematika, dan sains Indonesia mengalami penurunan dibandingkan PISA 2015.
Membaca, turun dari 397 menjadi 371. Matematika turun dari 386 menjadi 379. Sedangkan sains turun dari 403 menjadi 396. Perolehan itu masih jauh dari skor 500 yang ditetapkan OECD sebagai angka rerata.
Karena itu, Indra juga mendorong DPR supaya merumuskan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) baru. Sebab menurut dia, bila pemerintah bercita-cita membangun sumber daya manusia (SDM) unggul, maka sistem pendidikan harus dibenahi dari awal.
"Implementasi blue print itu pasti guru duluan. Bagaimana melatih guru, menyiapkan guru sebagai ujung tombak, karena bagaimanapun membangun SDM harus (mulai dari) guru," ujar dia.
Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim enggan menyebut pendidikan Indonesia telah gagal, jika melihat hasil PISA terbaru.
Nadiem memandang, PISA 2018 akan menjadi perspektif baru baginya dalam melakukan pembenahan ke depan.
"Kalau saya menyebutnya cara belajar, yang mungkin bisa mengetahui apa yang kita perbaiki, harus kita bandingkan," tutur Mendikbud pada Selasa (3/12) kemarin.
Namun Nadiem mengakui bahwa Indonesia kini sedang berada dalam fase krisis literasi, seolah menyoroti penurunan skor membaca Indonesia dalam PISA 2018.
Karena itu, dia mengajak guru dan orang tua untuk mengubah paradigma pelajaran membaca kepada anak, yakni dengan mengajak anak membaca buku apapun yang mereka sukai.
"Dari situ akan menjadi compounding effect, di mana dia akan merasa bahwa membaca adalah suatu hal yang baik, dan secara otomatis apapun yang kita enjoy, kita pasti semakin lama akan semain baik dalam skill itu," terang Nadiem.
Akhirnya, di luar hasil PISA 2018 yang mengecewakan, semua pihak mesti memaklumi bahwa kepemimpinan Nadiem sebagai Mendikbud masih seumur jagung.
Jika tak terkena reshuffle di kemudian hari, mantan CEO Gojek itu akan memegang kendali kemudi selama empat tahun ke depan, untuk membenahi pendidikan di Tanah Air. Mau di bawa ke manakah, Mas Menteri?
KEYWORD :Pendidikan PISA 2018 Mendikbud Nadiem Anwar Makarim Indra Charismiadji