Ridwan Hisjam
Jakarta, Jurnas.com - Bak tetesan air di tanah yang tandus. Sosok Ridwan Hisjam muncul dan bersuara lantang di arena Munas X Partai Golkar di Ritz Carlton, Jakarta 3-5 Desember 2019.
Ia datang sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar penantang Airlangga Hartarto. Ia bukan membawa materi ataupun janji-janji. Tapi gagasan besar tentang Paradigma Baru Partai Golkar yang demokratis.
"Saya ingin menjaga dan mengawal paradigma Partai Golkar, sebagai satu-satunya partai yang demokratis di Indonesia. Selama ini tidak ada partai yang demokratis seperti Golkar," kata Ridwan Hisjam kepada wartawan di arena Munas.
Ia pun menceritakan, bagaimana dalam setiap pemilihan ketua umum partai Golkar, selalu dibangun dengan landasan prinsip demokrasi yang kokoh. Setiap para pemilik suara, dalam hal ini DPD I, DPD II, dan organisasi pendiri serta organisasi sayap partai mendapat penghargaan penuh untuk menentukan ketua umum partainya.
Kata Ridwan, Golkar hidup dengan paradigma baru sejak reformasi 1998. Saat munas 1998 di Hotel Indonesia, tuturnya, ada tiga calon ketua umum, yakni Jendral TNI Purnawirawan Edy Sudtajat, Akbar Tanjung, dan Sri Sultan.
Tiga calon ini dipanggil dalam munas lalu divoting. Pada putaran pertama Akbar Tanjung meraih 10 suara, Edy Sudtajat 15 suara, Sri Sultan 1 suara. Maka dilakukan putaran kedua dan yang menang Akbar Tanjung.
"Setelah itu damai dan semua mengikuti hasil yang demokratis ini," jelasnya.
Kemudian Munas di Bali tahun 2004. muncul calonnya Akbar Tanjung, Jusuf Kalla (JK), Marwah Daud, dan Slamet Effendy Yusuf. Dalam munas ini dipakai syarat 30 persen, sehingga yang bertarung dalam pemilihan tersisa Akbar Tanjung dan JK. Maka dilakukan voting JK menang.
Lanjut ke Munas 2009 di Riau, calonnya ada empat. Yakni Tommy Soeharto, Yuddy Chrisnandi, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie alias Ical.
Ketika voting pertama, jelas Ridwan, suaranya Tommy dan Yuddy 0, sehingga hanya Surya Paloh dan Aburizal yang maju. Akhirnya Abirizal menang dengan suara 50 persen plus 1.
"Habis itu baru di Bali. Waktu itu calonnya ada delapan orang, yakni Setya Novanyo, Ade Komaruddin (Akom), Prio Budisantoso, Airlangga Hartarto, Indra Bambang Utoyo, Azis Syamsuddin, dan Syahrul Yasin.
Setelah voting, jelas Ridwan Hisjam, hasilnya Indra Bambang Utoyo dapat 1 suara, Airlangga 14 suara, Syahrul Yasin 6 suara, Azis lumayan sekitar puluhan suara, Prio 1 suara.
"Tapi yang dapat 30 persen hanya dua, Akon dan Setnov. Kemudian Akom mundur karena dijanjikan tetap menjadi ketua DPR. Maka yang menang Setnov," jelas Ridwan.
Di kongres X kali ini, Ridwan mengaku tidak melihat proses demokrasi yang baik sebagaimana munas-munas sebelumnya. Jangankan voting, para kandidat yang dengan niat baik mendaftar pun tak diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan serta sikapnya.
"Saya katakan, Munas X 2019 ini kemunduran besar dan paling buruk. Saya tanya di mana proses pemilihannya. Saya mempersoalkan prosedur. Paradigma baru Golkar diselewengkan dengan cara aklamasi yang tidak jelas prosedurnya," papar Ridwan Hisjam.
Bagi Ridwan Hisjam, dalam pemilihan ketua umum yang demokratis, prosedur pemilihannya harus jelas. Termasuk melalui voting.
"Etika di organisasi, kalau menyangkut orang maka voting tertutup, kalau menyangkut kebijakan baru voting terbuka. Dengan demikian tak saling tusuk dan aspirasi bisa berjalan sesuai hati nurani," ucapnya.
Ia menilai, demokrasi yang dibangun Partai Golkar dengan susah payah sejak 1998 diselewengkan pada Munas X ini.
"Saya sama Airlangga gak ada masalah. Saya ikutin beliau dan saya lendukingnua. Saya juga sepakat dengan musyawarah mufakat. Cuma caranya ini lho tidak sesuai prosedur, tidak mengikuti tata tertib, bahkan melanggar AD/ART," terangnya.
"Antara peserta dan utusan peninjau harusnya dipisah biar tidak kayak pasar malam. Sekarang kan seperti disatukan dan seperti pasar malam. Lalu tiba-tiba aklamasi. Mana proses musyawarahnya. Akhirnya ini tidak konstitusional. Tak ada daftar absen pemilik suara," papar Ridwan Hisjam.
KEYWORD :Munas X Partai Golkar Paradigma Baru Ridwan Hisjam