Jum'at, 27/12/2024 02:37 WIB

PBNU: Pengaturan Pengelolaan Air Harus Pertimbangkan Kemaslahatan Umat

pengaturan pengelolaan air dapat mempertimbangkan kemasalahatan umat

Wakil Ketua Umum PBNU Maksum Machfoedz dalam acara diskusi publik

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mochammad Maksum Machfoedz, berharap pengaturan pengelolaan air dapat mempertimbangkan kemasalahatan umat. Menurutnya, apapun yang dilakukan pemerintah haruslah didasarkan pada hal tersebut.

“PBNU berpandangan pada kaidah fiqh bahwa tindakan atau kebijakan pemerintah harus berdasar pada kemaslahatan rakyat atau tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil-maslahah. Sehingga apapun yang diatur dalam PP sebaiknya mempertimbangkan kemasalahatan umat,” kata Maksum.

Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA) telah disahkan menjadi Undang-Undang pada Sidang Paripurna DPR, (17/9/2019). Sehingga saat ini tugas pemerintah adalah menyelesaikan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengacu kepada UU SDA yang baru, yakni UU Nomor 17/2019 mengenai Sumber Daya Air.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan  Rakyat (PUPR), Basuki Hadimulyono, sudah menegaskan kepada awak media untuk menyelesaikan PP SDA dalam waktu tidak terlalu lama. “Bisa saja (selesai) tahun 2020,” katanya, seusai rapat kerja pemerintah dengan Komisi V DPR membahas RUU SDA beberapa waktu lalu.

Pembahasan PP SDA sangat ditunggu publik mengingat masih adanya beberapa isu krusial terkait soal perijinan pengusahaan air, Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), akses masyarakat terhadap SDA, dan biaya BPJSDA yang berpotensi memberatkan dunia usaha.

Bagi PBNU, kata Maksum, kebijakan pemerintah adalah untuk menjamin kemasalahatan dan tidak melakukan kerusakan. “Ini prinsip,” tegasnya.

Terkait pertimbangan kemasalahatan umat, Maksum menambahkan, perspektif yang digunakan harus terkait konsep keadilan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.

“Prinsip kami jelas, bahwa keadilan disini termasuk pelibatan masyarakat dan pelaku usaha swasta. Ini tanpa mengesampingkan kewajiban pemerintah memenuhi hak atas air minum yang bersih dan aman bagi masyarakat.

“Jadi jangan sampai untuk pengelolaan SDA hanya ada sektor pemerintah. Jangan anti swasta hanya karena khawatir dianggap pro komersialisasi,” kata dia.

Disinilah, tambah Maksum, peran pemerintah dalam pengelolaan SDA cukup sebagai regulator, tidak perlu sekaligus menjadi eksekutor dan pengawas.

“Wewenang pemerintah cukup mengatur. Membuat regulasi yang berorientasi keadilan dan mempertimbangkan kemasalahatan umat. Untuk pelaksanaannya silahkan libatkan partisipasi aktif rakyat, termasuk sektor usaha. Jangan sudah mengatur, melaksanakan juga, mengawasi juga. Cukup pada peran sebagai regulator saja,” tambahnya.

Persoalan Proteksi Sumber Air

Terkait pasal 62 UU SDA, yang mewajibkan masyarakat untuk diberikan akses terhadap SDA, Maksum meminta agar ketentuan ini dijelaskan secara tegas dalam PP.

“Penjelasan pasal ini berpotensi merisaukan sejumlah pihak. Jangan sampai pasal ini diartikan bahwa semua orang boleh masuk pekarangan kita seenaknya untuk mengambil air di sumur kita,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, pasal 62 UU SDA poin f, mengatur bahwa “Dalam menggunakan Sumber Daya Air, masyarakat berkewajiban untuk: memberikan akses untuk penggunaan Sumber Daya Air dari Sumber Air yang berada di tanah yang dikuasainya bagi masyarakat. Isi pasal 62 poin f, dinilai berpotensi melarang setiap pelaku usaha untuk melaksanakan perlindungan aset vital SDA, karena pihak swasta diwajibkan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapapun untuk  mengambil air langsung dari sumber milik perusahaan tersebut.

Dalam penjelasan Pasal 62 disebutkan bahwa memberikan akses berarti tidak menutup secara fisik dan nonfisik Sumber Air dari masyarakat, termasuk melalui pemagaran dan membuat rambu larangan

Maksum melanjutkan, jika kewajiban memberikan akses terhadap SDA juga diwajibkan kepada industri yang menggunakan air sebagai bahan baku industri.

“Kalau kewajiban ini juga diartikan bahwa semua orang boleh masuk ke dapur industri dan bebas mengambil air di sumur mereka, bagaimana bisa memastikan kebersihan sumber air tersebut padahal air dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam proses produksi?” lanjutnya.

Adapun penjelasan tentang kewajiban memberikan akses terhadap SDA juga sudah dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 121/2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air. Sehingga ketentuan tentang hal ini dipastikan juga akan ada dalam PP SDA yang baru, yang sedang disiapkan pemerintah.

“Harusnya penjelasan tidak menutup secara fisik dan nonfisik sumber air dari masyarakat, tidak serta merta diartikan bahwa kita tidak boleh menutup pagar kita supaya semua  orang boleh masuk ke sumur kita dan bebas mengambil air kita. Ya engga begitu,” jelas Maksum.

“Tetapi bila diatur ada batas volumetris, dimana jika sumber air kita berada di area publik, maka kita tidak boleh mengganggu akses publik untuk mengambil air tersebut. Jadi harus dibedakan antara area publik dengan private area,” tambahnya.

Sementara itu terkait biaya BPJSDA, yang dinilai akan semakin memberatkan dunia usaha yang sudah banyak dibebani biaya, Maksum mengingatkan pungutan biaya untuk konservasi alam tetap menjadi kewajiban industri.

“Untuk kegiatan komersial, dimana industri mengambil air tanah dan mendapatkan keuntungan, maka wajib dibebankan biaya. Karena biaya itu akan sangat berguna untuk subsidi pihak-pihak yang melakukan konservasi. Termasuk juga subsidi untuk petani yang melakukan terasering dan melakukan penanaman pohon untuk penghijauan sawah mereka,” pungkas Maksum

 

KEYWORD :

Pengelolaan Air Waketum PBNU Mochammad Maksum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :