Novel Baswedan dan Yudi Purnomo
Jakarta, Jurnas.com - Dua polisi pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, RM dan RB dianggap telah salah mengartikan semangat korsa Polri. Aksi penyiraman air keras itu, bukanlah bentuk panggilan jiwa korsa.
Menurut Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi , Jiwa korsa tak boleh jadi alasan untuk perbuatan yang jelas tidak memberi contoh baik bagi masyarakat luas.
RM dan RB menyiram Novel dengan cairan aki bekas pada April 2017. Polisi menangkap keduanya selang 2,5 tahun setelah peristiwa penyerangan. RM sempat melontarkan pernyataan kepada wartawan bahwa Novel adalah pengkhianat. Sejumlah pengamat menilai pernyataan RM itu dilatarbelakangi semangat Korsa Polri.
“Tentu saja implementasi yang benar dari jiwa korsa tak seperti itu,” kata Khairul kepada wartawan, Rabu (01/01/2020).
Khairul berpendapat sebenarnya tidak ada yang salah dari semangat korsa. “Masalahnya adalah penerapan yang membabi-buta. Wajar saja, indoktrinasi dan ideologisasi memang tak membutuhkan keberpikiran,” katanya.
Sebab itu, kata dia, jiwa korsa kemudian ditangkap semata-mata soal keseragaman, kekompakan dan solidaritas. Tanpa melihat, apalagi menelaah kondisi obyektif secara kritis.
“Pokoknya hantam dulu, sikat dulu. Apalagi ketika ada keyakinan bahwa kehormatan korps telah tercoreng, lembaga telah dipermalukan,” kata dia.
Apalagi, menurutnya, jika korbannya dianggap sebagai bagian dari dirinya, maka cap pengkhianat langsung melekat, tanpa melihat duduk perkara.
“Dan pembalasan atau penghukuman dianggap layak dan setimpal dilakukan pada siapapun yang telah mempermalukan, menghina apalagi mengkhianati,” kata Khairul.
Lebih lanjut Khairul mengatakan, Jiwa korsa selalu menjadi klaim dan pembenaran ketika suatu peristiwa, entah itu bentrok antarsatuan, antarinstitusi, bahkan kekerasan yang melibatkan personel-personel satuan tertentu terhadap pihak di luar kesatuannya atau bahkan masyarakat umum.
Jiwa korsa selama ini sering dilekatkan pada praktik-praktik buruk dan negatif yang menyangkut kekerasan kolektif oleh personel lembaga tertentu.
Padahal, menurutnya, doktrin korsa sejatinya ditanamkan untuk membangun kekompakan dan kerjasama tim dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
“Tentunya jangankan perbuatan yang jelas tindak pidana seperti peyiraman air keras ini, jiwa korsa mestinya bahkan tak membuat pelanggaran disiplin atas nama solidaritas dan kekompakan dapat ditolerir,” kata dia.
Menurutnya, organisasi Polri, terutama Brimob, masih sangat kental dengan kultur fasisme dan tradisi yang militeristik. Meski berstatus sipil, pembentukan personelnya sejak di lembaga pendidikan masih lekat dengan ketentaraan.
Pembentukan watak dan karakter tentara memang dilakukan atas dasar doktrin yang merepresentasikan kebanggaan, kewibawaan dan kehormatan kolektif institusional.
“Itu berarti berbicara simbol-simbol, identitas dan ideologi. Implementasi yang sering kita lihat dan dengar adalah slogan "disiplin adalah nafasku, kesetiaan adalah kebanggaanku, kehormatan di atas segala-galanya,” katanya.
Khairul menyarankan penanaman doktrin soal disiplin, loyalitas dan kehormatan tadi, mestinya dibarengi dengan pengembangan budaya malu.
“Malu tidak disiplin, malu melanggar aturan, dan malu bertindak tidak terhormat,” kata dia.
KEYWORD :Penyidik KPK Novel Baswedan Polri