Ilustrasi sampah plastik (foto:UPI)
Jakarta, Jurnas.com - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru-baru ini mengeluarkan peraturan gubernur (pergub) tentang larangan kantong plastik sekali pakai atau kantok kresek di mal, swalayan, hingga pasar.
Larangan ini tertuang di Pergub Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Sayangnya, peraturan itu sebenarnya malah menambah persoalan dalam penanganan sampah plastik.
Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Pris Polly Lengkong, menjelaskan dengan adanya pelarangan penggunaan kantong kresek itu, sampah-sampah plastik jenis HDPE (High Density Polyethylene) seperti naso (botol susu berwarna putih susu, kotak plastik makanan), mainan (botol shampo, porselin), botol oli, dan jerigen, tidak bisa lagi didaur ulang.
Komunitas Malu Dong Sebut Penelitian Sungai Watch Tak Selesaikan Persoalan Sampah Plastik di Bali
Karena menurut Pris Polly, hasil daur ulang sampah plastik jenis HDPE ini, 70 persennya berupa kantong kresek. "Cuma 30 persen saja hasil daur ulangnya yang bisa diolah kembali dalam bentuk botol jenis HDPE," katanya.
Jadi, kata Pris Polly, kalau larangan penggunaan plastik kantong kresek diberlakukan, limbah sampah HDPE malah akan semakin menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, sungai-sungai, dan mencemari lingkungan.
"Karena kalau tidak bisa lagi didaur ulang, sampah-sampahnya mau dibuang kemana?" ujarnya.
Menurut Pris, kalau didaur ulang, sampah-plastik itu satu sama lain punya ikatan batin. Artinya, sampah-sampah plastik jenis naso, mainan, dan botol oli itu harus balik ke kantong kresek.
"Nah, kalau kantong kresek dilarang, sampahnya mau dibuat apa? Karena cuma bisa dipakai 30 persen untuk jadi botol lagi. Yang 70 persennya mau dikemanai," tegasnya.
Sementara, Pris menuturkan bahwa sampah plastik jenis HDPE ini paling banyak di masyarakat ketimbang botol air kemasan PET. Hal itu terlihat jenis pkastik HDPE ini lebih dominan ada di pelapak-pelapak ketimbang jenis plastik lain.
"Dengan botol PET saja perbandingannya satu banding tiga meskipun botol PET harganya lebih mahal dan sirkular ekonominya lebih bagus. Tapi di masyarakat itu kan yang lebih sering detemui oleh pemulung itu adalah sampah plastik jenis HDPE ini," tuturnya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Prof. Akbar Tahir juga mempertanyakan kebijakan pelarangan tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hanya ketiga item ini yang masuk dalam kategori single use plastics? Kalau kita mau jujur dan membuka mata lebih lebar, masih banyak produk-produk kemasan plastik lainnya yang dipakai hanya satu kali,” ucapnya.
Dia mencontohkan seperti kemasan shampo, kemasan mie instan berikut kemasan-kemasan kecil di dalamnya, sachet, bekas isi ulang minyak goreng, plastik kemasan tissue, sendok/garpu plastik, batang cotton buds.
Di tingkat operasional, kebijakan ini pun sulit dipastikan efektifitasnya. Karena, selain sosialisasi yang masih kurang, mekanisme kontrolnya juga tidak jelas. Di mana belum ada solusi bagi pedagang, yang membuat mereka mengalami kebingungan.
Para pedagang di Pasar Tebet Barat dan Tebet Timur yang jelas-jelas akan dijadikan percontohan pelarangan kantong kresek ini misalnya, masih bingung dengan keluarnya kebijakan itu.
Asril (58), pedagang sembako di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, mengatakan bingung jika dilarang menggunakan kantong kresek. "Kalau dilarang saya mau pakai apa. Apa pemerintah sudah menyiapkan penggantinya? Harusnya kan, sebelum aturan itu dibuat harus sudah dipikirkan penggantinya?" katanya.
Hal senada juga diutarakan pedagang plastik bernama Alfino (30). Menurutnya, para pedagang di Pasar Tebet Barat ini masih tetap membeli kantong kresek di tokonya.
"Heran saja kalau sampai melarang kantong kresek sementara penggantinya belum disiapkan. Pedagang ikan misalnya, masak pembeli harus bawa ember sebagai tempatnya?" tukas Alfino.
Mumuh (30), pedagang daging dan bawang goreng, juga bingung dengan adanya kebijakan pelarangan penggunaan kantong kresek di Pasar Tebet Barat, apalagi akan dijadikan percontohan.
“Pelarangan itu susah lah. Karena kita kan pakai plastik semua bungkusnya. Saya melihat kebijakan itu terlalu dipaksakan. Penggantinya juga kan harus memperhatikan harganya. Jangan sampai lebih mahal dari harga kantong kresek. Tapi apa ada," ujarnya.
Pedagang lainnya, Duden (43) mengatakan tujuan pelarangan itu memang bagus, tapi sebaiknya harus disertai solusinya. "Lucu juga kalau kantong kresek dilarang tapi nggak ada solusi penggantinya apa. Karena sampai sekarang itu, cuma plastik yang paling praktis dan harganya paling murah. Jadi agak susah juga jualan kalau nggak ada kantong kresek," ujar pria pedagang perabotan pecah belah ini.
Dedi (41), pedagang sembako juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, kebijakan itu terlalu terburu-buru dibuat, sementara penggantinya seperti apa belum ada penjelasannya.
"Jadi kalau ada pembeli kita mau bungkus pakai apa. Kalaupun ada penggantinya, harganya juga harus sama dengan harga kantong kresek yang paling murah untuk saat ini, "ucapnya.
KEYWORD :Kantong Kresek Sampah Plastik