Diskusi Dialektika Demokasi dengan Tema Pemekaran Papua: Sebuah Keniscayaan atau Petaka?
Jakarta, Jurnas.com - Direktur Eksekutif Papua Circle Institute, Hironimus Hilapok menyampaikan beberapa catatan dan analisisnya tentang wacana pemekaran Papua.
Catatan itu disampaikan Hiron sapaan Hironimus Hilapok dalam diskusi dialektika demokrasi bertajuk “Pemekaran Papua: Sebuah Keniscayaan atau Petaka?” di Media Center Parlemen, Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/3).
“Kalau berbicara Papua ini kan persoalan yang besar, tetapi kami mencoba membicarakan salah satu soal yang penting dengan kemunkinan, apakah Pemekaran ini menjadi jalan untuk mencapai kesejahteraan atau tidak,” kata Hiron.
Selain Hiron, diskusi ini juga menghadirkan tiga pembicara yakni anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron; Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOD Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu, dan Peneliti LIPI yang juga Koordinator Jaringan Papua Damai, Adriana Elisabeth.
Menurut Hiron, ada tiga kemungkinan kepentingan terkait pemekaran daerah. Pertama, masyarakat memang menginginkan sebuah pemekaran sehingga masyarakat melakukan gerakannya sendiri dengan didorong oleh beberapa elite.
Kedua, pemekaran itu biasa datang dari kepentingan elite sendiri. “Dari elite yang memperjuangkan pemekaran, tanpa melihat apakah itu menjadi kebutuhan masyarakat atau tidak,” kata Hiron.
Ketiga, ada kepentingan bisnis. Menurutnya, ada kemungkinan ide pemekaran karena ada kepentingan bisnis, apakah itu kemudian diperjuangkan melalui sebuah proses yang benar atau tidak. Mengenai hal ini, kata dia, adalah tugas DPR dan pemerintah untuk menilainya.
Lebih lanjut, mantan Pengurus Pusat PMKRI ini menjelaskan proses perkembangan Papua sejak berintegrasi ke Indonesia pada tahun 1969. Awalnya, kata dia, Papua hanya satu provinsi dan 9 kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 1969.
Selanjutnya, pada tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999, provinsi Irian Jaya (Papua) dimekarkan menjadi tiga provinsi, tetapi sampai saat ini hanya ada dua saja yakni Provinsi Papua dan Papua Barat.
Namun, pemekaran tersebut mengalami penolakan sehingga muncul UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 dan Papua Barat masuk dalam bagian dari UU Otsus Papua.
Mengenai wacana pemekaran daerah yang mulai mengemuka belakangan ini, Hiron mengaku masih mencermati perkembangan dan dinamika di masyarakat.
Hiron mengakui adanya pro dan kontra di masyarakat terkait pemekaran. Bagi yang pro pemekaran, menurut Hiron, didasarkan pada pertimbangan bahwa pemekaran itu penting sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun, ada juga pandangan bahwa pemekaran itu hanya untuk memecah-belah orang Papua.
“Jadi pro dan kontra itu selalu terjadi baik itu di kalangan elite, di kalangan masyarakat ataupun juga biasanya di kalangan media. Kami melihat secara keseluruhan yang penting adalah isu-isu yang lain tentang posisi orang Papua dalam proses pemekaran itu seperti apa, misalnya sampai dengan hari ini, orang asli Papua di Papua Selatan misalnya jumlahnya makin berkurang, dengan ruang-ruang yang sangat sempit. Apakah pemekaran menjadi penting, ini menjadi pertanyaan,” ujar Hiron.
Pada bagian lain, Hiron juga menyinggug sejumlah isu dan persoalan, misalnya Otsus Papua yang sudah hampir berakhir tahun ini.
Menurutnya, pemerintah dan DPR harus menempatkan pemekaran Papua dalam konteks otonomi khusus. Karena itu, jangan melihat pemekaran yang terjadi di Papua sama dengan yang terjadi di tempat lain.
"Jadi pemekaran di Papua harus tetap dalam konteks otonomi khusus, sehingga regulasi pun tersendiri,” kata Hiron yang juga salah satu Komisaris pada PT Adhi Karya Tbk ini.
Hiron menjelaskan ada ide yang mengusulkan perlu pemekaran Papua menjadi beberapa provinsi, termasuk kabupaten dan kota, tetapi harus ada atau ditunjuk seorang pejabat seperti Gubernur Jenderal. Bisa juga, pemerintah membuat sebuah badan yang mengoordinasi semua provinsi atau gubernur ini.
“Saya berpikir, ide tentang Gubernur Jenderal ini menarik dibahas dalam rancangan undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah, khususnya revisi undang-undang otonomi khusus Papua. Hal ini bisa menjadi bahan kajian Kementerian Dalam Negeri dan DPR untuk lebih melihat pemekaran Papua itu dalam kerangka otonomi khusus,” tegas Hiron.
Hiron pada bagian akhir pemaparannya, menekankan bahwa yang lebih penting adalah bagaimana orang asli Papua itu menjadi tuan di negerinya sendiri, di Tanah Papua. Kemudian orang asli Papua menjadi subjek dalam pembangunan itu.
“Kalau ditanya apakah setuju atau tidak setuju tentang pemekaran, saya pikir setuju, tetapi melalui sebuah proses dalam kerangka otonomi khusus sehingga pemekaran betul-betul dirasakan manfaatnya oleh orang asli Papua,” tegas Hiron.
Sementara itu, Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOD Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu mengatakan dalam konteks pemekaran daerah terdapat tiga kondisi yang perlu mendapat perhatian sampai terjadinya daerah baru.
Pertama, pendekatan melalui mekanisme usulan aspirasi masyarakat. Kedua, ada pendekatan teknokratis, untuk melihat regulasi mana, persyaratan-persyaratan mana yang dipenuhi sehingga daerah itu layak untuk menjadi sebuah daerah otonom.
Ketiga, pertimbangan politis itu sendiri.
Andi juga menjelaskan tentang moratorium pemekaran daerah yang terjadi sejak tahun 2014. Moratorium pemekaran daerah merupakan hasil sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang dipimpin wakil Presiden dengan anggotanya sejumlah menteri berkisar antara 9 sampai 12 menteri.
“Sidang DPOD tidak melulu membahas tentang pemekaran daerah tetapi juga membahas tentang DAK dan banyak hal. Tetapi salah satunya adalah penataan daerah, dalam putusan sidang DPOD oleh bapak Wapres yang saat itu bapak JK memutuskan untuk menghentikan penataan daerah dan kemudian agar mengonsolidasikan ulang, apa hasil pemekaran di 223 daerah baru tersebut,” katanya.
Menurut Andi, pada tahun tahun 2020 saat ini, DPOD akan menggelar sidang dalam waktu dekat. “Sidang DPOD itu sendiri yang memutuskan apakah nantinya mempertahankan moratorium ataupun membuka keseluruhan secara selektif, itu nanti disidang setelah mempelajari hasil review, evaluasi dan kemudian hasil capaian dari daerah otonom baru yang dibentuk sampai tahun 2014 berjumlah 223,” kata Andi.
Menurut Andi, ada beberapa pilihan selain Pemekaran yaitu penguatan kecamatan, untuk mengoptimalkan pelayanan masyarakat, tetapi dari berbagai pertimbangan dan kondisi lapangan akhirnya dipilih pemekaran. “Nah ini ungkin perkembangan di Papua,” katanya.
Peneliti LIPI Adriana Elisabeth berpendapat bahwa pemekaran atau penggabungan daerah adalah tols untuk bagaimana mendekatkan pelayanan publik dan untuk mempercepat kesejahteran masyarakat dimanapun termasuk di Papua.
“Sebetulnya pemekaran ini bukan soal baru untuk Papua, tetapi ini menjadi ramai diperbincangkan setelah pertemuan 61 tokoh Papua dengan Presiden pada September 2019. Dalam pertemuan itu, salah satu permintaan yang disampaikan adalah soal pemekaran provinsi kemudian bergulir yang kemungkinan akan ada Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah,” kata Adriana.
Adriana mengingatkan bahwa pro dan kontra pemekaran Papua perlu dilihat dalam konteks Papua sebagai daerah konflik. “Hal itu akan berbeda dengan melihat daerah lain yang normal,” kata Adriana yang juga Koordinator Jaringan Papua Damai ini.
Lebih lanjut, Adriana juga mengingatkan bahwa wacana pemkaran sangat berdekatan dengan UU otonomi khusus yang juga akan direvisi. “Jadi itu harus jelas dulu sebelum pemekaran ini nantinya akan dilakukan,” katanya mengingatkan.
Oleh karena itu, Adriana mendorong untuk melakukan kajian yang lebih lengkap mengenai situasi di Papua. “Karena kalau bicara seperti berdasarkan peraturan itu semuanya ideal sekali, itu menurut saya. Tetapi realita di lapangan itu tidak se-ideal itu, nah itu menurut saya yang harus menjadi catatan.”
“Jadi bagi saya pemekaran ini bisa menjadi sebuah keniscayaan untuk Papua tetapi dengan catatan yang sangat banyak, harus ada apa evaluasi atas otonomi khusus,” kata Adriana.
Di tempat terpisah, Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron mengatakan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) alias pemekaran harus melalui pengkajian yang matang, bukan karena keputusan politik.
“Tujuan utama DOB itu adalah untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat dan tentu saja menyejahterakan rakyatnya,” kata Herman Khaeron.
Herman mengingatkan jangan sampai daerah yang baru dimekarkan rakyatnya tambah miskin, pendapatan asli daerahnya (PAD) menurun dan menghabiskan anggaran untuk infrastruktur.
Oleh karena itu, politikus Demokrat yang akrab disapa Kang Hero itu meminta agar daerah yang ingin membentuk DOB itu mengkaji secara matang.
KEYWORD :Warta DPR Diskusi Dialektika Demokasi Pemekaran Papua