Sabtu, 23/11/2024 11:45 WIB

Perppu Stabilitas Sistem Keuangan Covid-19 Jangan Abaikan Semangat Anti Korupsi

Dari aspek hukum, seharusnya paket kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah harus mengakomodasi dan memberi jaminan terhadap penurunan risiko korupsi. 

Irwan SH. MH

Jakarta, Jurnas.com - Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik IRWAN, S.H., M.H menilai langkah Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait Stabilitas Sistem Keuangan akibat Pandemi Covid-19 atau wabah Virus Corona sudah memenuhi dasar hukum yang jelas.

Hanya saja, ia mengingatkan harus ada antisipasi terhadap kemungkinan masuknya penumpang gelap, atau orang-orang yang ingin mengambil kesempatan menggarong uang negara di tengah kegentingan melawan Wabah Virus Corona.

Berikut ulasan lengkap Irwan, praktisi hukum asal Makassar:

Dalam rangka mengatasi penyebaran dampak Covid-19, secara simultan Presiden Joko Widodo telah menerbitkan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan dalam upaya komprehensif pemerintah menggelorakan perang terhadap Covid-19.

Sejak hari pertama ditemukannya suspect Covid-19 di Indonesia sampai dengan per hari ini menurut data Kementerian Kesehatan jumlah positif corona per tanggal 2 April 2020 mencapai 1790 orang, dengan korban meninggal 170 orang. Dengan penyebaran Covid-19 semakin meluas, menyebabkan kondisi ekonomi bangsa menjadi tak menentu.

Berbagai skenario yang diungkapkan oleh pakar ekonomi, menempatkan Indonesia menuju pelambatan yang disinyalir dapat memicu krisis ekonomi. Untuk itu pemerintah terus melakukan langkah-langkah strategis guna mengurangi dampak ekonomi pada situasi yang serba terdesak, untuk selanjutnya dapat keluar dari jeratan krisis moneter global akibat Covid-19.

Salah satu upaya mendesak yang telah diambil pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (PERPU Stabilitas Sistem Keuangan Covid-19).

PERPU ini diambil dalam rangka menghadapi situasi darurat kesehatan kesehatan masyarakat akibat Covid yang telah ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Ihwal kegentingan Memaksa

Pandemi Virus Covid-19 telah nyata menggangu aktifitas kenegaraan dan membawa implikasi buruk bagi perekonomian Indonesia maupun sebagian besar negara-negara di seluruh dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan menurun dibawah 3 % menjadi hanya 1,5 % atau bahkan lebih rendah, telah membuat Indonesia berada pada situasi ketidakpastian, termasuk terganggunya aktifitas ekonomi ini yang akan berimplikasi pada postur APBN 2020, yang amit-amit dapat melumpuhkan aktifitas ekonomi.

Alasan tersebut sudah cukup menjadi dasar pemerintah untuk menyatakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU sebagaimana dimaksud pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, sehingga muncullah kegentingan memaksa yang harus dijawab melalui penerbitan PERPU.

Maka berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, apabila terdapat hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berwenang untuk menetapkan PERPPU. PERPPU ini kemudian dalam perjalanannya harus mendapatkan persetujuan oleh DPR untuk berlaku seterusnya, dan apabila tidak mendapat persetujuan DPR maka PERPPU akan dicabut.

Antisipasi Penumpang Gelap

Dengan diterbitkannya PERPU Stabilitas Sistem Keuangan Covid-19, diharapkan beleid ini dapat memberikan solusi untuk mengantisipasi dampak buruk Covid-19 terhadap perekonomian negara. Berbagai persoalan ekonomi juga diharapkan dapat dijawab melalui PERPU ini.

PERPU yang mengatur relaksasi defisit APBN, kebijakan perpajakan, kebijakan penggunaan anggaran, juga mengatur kebijakan penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas system keuangan.

Khusus terkait dengan kebijakan penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas system keuangan, harus disadari Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terhimpun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tetap harus menerapkan asas kehati-hatian (prudent) dalam setiap kebijakan baik itu bail in, bail out, maupun kebijakan lain yang mungkin diambil.

Dalam rangka menghadapi krisis ekonomi, sejak 2016 Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), yang diharapkan dapat menjadi bantalan ketika krisis keuangan kembali terjadi.

UU PPKSK menekankan pentingnya proses bail-in atau penyelesaian dari pihak internal dalam penyelamatan bank bermasalah, dan menyingkirkan pola penyelesaian dengan menggunakan bail out yang cenderung merugikan jika dibanding bail in, karena keuangan negara akan tersandera oleh risiko bank yang sifatnya sistemik (Pidato Gubernur BI Dr. Darmin Nasution dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia tahun 2011).

Menurut Darmin, bail out itu mungkin perlu ketika krisis, namun pengalaman membuktikan, hal itu menimbulkan kekeruhan baru, baik dari sisi ekonomi, komplikasi politik dan masalah hukum. Kita memerlukan pencegahan dan memiliki pertahanan modal yang kuat. Artinya perbankan sendiri harus memiliki buffer untuk menyerap risiko dan guncangan dalam hal terkena imbas krisis.

Hadirnya UU PPKSK, telah memberikan dasar hukum yang kuat dalam pengambilan kebijakan penyelamatan, program penyelamatan, serta telah menentukan batasan-batasan dalam menerapkan program penyelamatan yang dimaksud, sehingga dapat meminimalkan masalah hukum yang dapat terjadi dengan menerapkan asas prudent yang konsisten dan semangat anti korupsi didalamnya.

Dengan ditanda tanganinya PERPU Stabilitas Sistem Keuangan Covid-19 pada tanggal 31 Maret 2020 oleh Presiden Jokowi, dalam BAB Ketentuan Penutup Pasal 28 telah menderegulasi beberapa ketentuan dalam berberapa aturan UU diantaranya menghapus ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) UU PPKSK yang pada pokoknya mengatur bahwa bank sistemik yang dapat diberi pinjaman likuiditas oleh bank Indonesia harus dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi berupa surat berharga yang memiliki peringkat tinggi dan mudah dicairkan, atau dapat menggunakan aset kredit dengan kolektibilitas lancar sebagai agunan pinjaman berdasarkan prinsip syariah.

Dengan menghapuskan ketentuan pasal 20 ayat (3) dan (4) UU PPKSK, PERPU dapat dianggap telah menurunkan standar dalam pemberian fasilitas kredit oleh Bank Indonesia kepada bank sistemik, yang disinyalir dapat dijadikan sebagai ruang kompromi terhadap perilaku koruptif, yang justru malah dapat membebani perekonomian negara.

Dalam konteks defisit APBN, penerimaan negara, maupun kebijakan penggunaan anggaran akibat Covid-19 secara nyata akan membuat kerusakan terhadap perekonomian negara sehingga dapat diterima menjadi hal ihwal kegentingan memaksa.

Akan tetapi pada konteks stabilitas system keuangan, Indonesia telah mempunyai payung hukum dalam menghadapi potensi krisis yakni UU PPKSK, sehingga asumsi kekosongan hukum menjadi tidak berlaku.

Semangat Anti Korupsi

Menurut Transparansi Internasional, skor Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index-CPI) Indonesia terus membaik dari tahun ke tahun. Tahun ini, skor CPI Indonesia naik dua poin dari tahun sebelumnya menjadi 40 dan berada di posisi 85 dari 180 negara.

Dari aspek hukum, seharusnya paket kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah harus mengakomodasi dan memberi jaminan terhadap penurunan risiko korupsi. PERPU harus dibuat secara komprehensif untuk menekan potensi korupsi dan prevalensi korupsi. Semangat itulah yang diharapkan ada pada pemerintah sebelum mengambil kebijakan apapun.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE theory, bahwa faktor faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi ada 4 hal meliputi: greeds (keserakahan), opportunities (kesempatan), needs (kebutuhan), dan exposures (pengungkapan), jangan sampai keserakahan muncul karena adanya kesempatan karena mendapatkan kemudahan dari aturan hukum.

Penerapan ketentuan mengenai penghapusan Pasal 20 ayat (3) dan (4) dirasakan jauh dari semangat anti korupsi, disaat negara sedang bergulat dengan Covid-19, justru muncul aturan yang beresiko memberi peluang moral hazard yang dapat merugikan keuangan negara, pada saat yang sama publik belum lupa dengan kasus bail out perbankan yang melanda Indonesia.

Akhirnya pada tahap pengambilan persetujuan di parlemen, beban ini berada ditangan DPR. DPR tentu tidak serta merta menolak kehadiran PERPU melihat urgensi kebijakan menghadapi pandemic Covid-19, akan tetapi meskipun demikian DPR harus memberi catatan dan stressing terhadap permasalahan yang menarik perhatian publik, dan berpotensi disalahgunakan menjadi whitecolar crime.

KEYWORD :

Perppu Covid-19




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :