Ilustrasi Hukum
Jakarta, Jurnas.com - Ombudsman Republik Indonesia memastikan bakal menindaklajuti laporan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT). Pelaporan itu menyusul pemutusan hubungan kerja sama secara sepihak oleh Pemprov yang dikomandoi Viktor Laiskodat.
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan, laporan PT SIM selaku mitra kerja sama pembangunan dan pengelolaan bangunan hotel di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, yang telah masuk akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan cara kerja di Ombudsman.
"Kami akan teliti dengan dua hal tadi apakah memang ada dasar formal dalam rangka pengaduan, yang kedua apakah masuk dalam ranah kewenangan kami begitu dua-duanya Oke kami Go," kata Adrianus Meliala saat dihubungi awak media, Senin (20/4).
Sebelum akhirnya memanggil pelapor dan terlapor, kata Adrianus, pihaknya akan menelaah dokumen yang masuk terkait pelaporan tersebut. Ombudsman akan menghadapi Pemrov NTT jika aspek-aspek terkait laporan itu terpenuhi. Dalam pemeriksaan di Ombudsman, pihak Pemprov NTT selaku Terlapor diharapkan bersedia berdialog dan kooperatif.
"Pasti dengan mengecek dokumen semua lembaran berita negara terkait kalau memang begitu, kalau memang ada cek fisik kami lakukan cek fisik, baru kemudian setelah kami puas dengan data-data sekunder kami memanggil pelapor dan terlapor lalu kami biasanya berusaha untuk mediasikan berusaha untuk mendamaikan, ketika tidak mau baru nanti kami akan keluarkan putusan," ujar Adrianus.
Ditekankan, pemutusan kerja sama harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pihak Pemprov NTT harus hati-hati dalam membatalkan perjanjian secara sepihak.
Apalagi, jika dilakukan di tengah pandemi COVID-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional sekarang ini. Keadaan bencana bisa menjadi alasan force majeur terhadap suatu perjanjian.
"Bila pemutusan kerja samanya terjadi bulan lalu, sebelum ada perintah Presiden mengenai bencana nasional. Artinya, apa dasarnya memutuskan itu. Jangan-jangan sepihak saja dari Gubernur. Kita akan cek di situ," ucap Adrianus.
Sementara itu, Wakil Ketua Ombudsman RI Lely Pelitasari Soebekty mengatakan, pihaknya akan merespon setiap laporan yang masuk. Pun termasuk laporan dari PT SIM.
"Kalau merespon diaturan kita 14 hari, tapi harus didahului dulu dengan melapor dulu ke instansi terkaitnya," ucap Lely Pelitasari saat dikonfirmasi terpisah.
Instansi yang dimaksud Lely adalah atasan langsung Gubernur yakni Kementerian Dalam Negeri. Untuk diketahui, selain pengaduan kepada Ombudsman RI, PT. SIM juga telah melaporkan dan mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI.
Lely menyampaikan, untuk melihat dugaan administrasi dalam pemutusan kerja sama sepihak perlu dicemati terlebih dahulu klausul awal terkait kerjasama tersebut. Klausul awal itu juga terkait dengan peraturan yang berlaku, seperti peraturan Kementerian Dalam Negeri.
"Kita musti lihat dikontraknya, kalau hubungan kerjasama pasti ada MoU ada kontrak, ada perjanjian kerjasama kan tinggal dilihat disitu apakah dimungkinkan atau dibuka ruang untuk pemutusan hubungan kerjsama sepihak itu kan tinggal lihat klausulnya," katanya.
"Kalau memang tidak ada atau harus ada peringatan, kemudian kalau mau memutuskan kerjasama itu berarti minimal sekian bulan sebelumnya didahului langkah-langkah apa apa saja seatau saya semua diatur didalam kontraknya,” sambung Lely.
PT SIM merupakan mitra kerja sama dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur cq. Gubernur Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagaimana Perjanjian Kerjasama No.HK.530 Tahun 2014-No.04/SIM/Dirut/V/14 tanggal 23 Mei 2014 ("PKS tanggal 23 Mei 2014").
Kerja sama tersebut memiliki jangka waktu 25 tahun terhitung sejak tanggal beroperasi dan memiliki besaran kontribusi yang telah ditetapkan berdasarkan penelaahan, penelitian dan penilaian oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sementara, keputusan Pemerintah Provinsi NTT kepada PT.SIM dilakukan berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemprov NTT Nomor: BU.030/60/BPAD/2020 tanggal 31 Maret 2020, perihal: “Pemutusan Hubungan Kerja”, kemudian perintah pengosongan dilakukan berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor: BU.030/61/BPAD/2020 tanggal 01 April 2020, perihal: Surat Peringatan Pertama (SP-1).
PT SIM menduga pemutusan hubungan kerja sama secara sepihak itu sarat maladministrasi dan tidak manusiawi lantaran dilakukan di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat mewabahnya penyakit virus corona 2019 (COVID-19). Keputusan Pemerintah Provinsi NTT juga dinilai kontradiktif dengan kebijakan relaksasi, stimulus dan insentif yang disampaikan Pemerintah Pusat untuk bidang perekonomian guna mengatasi wabah.
Mewabahnya COVID-19 telah mengakibatkan resesi ekonomi dalam skala yang masif dan sektor pariwisata merupakan salah satu bidang yang paling terdampak. Mengutip keterangan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) per tanggal 01 April 2020 sudah 1.139 hotel telah menutup sementara kegiatannya.
PT SIM menolak pemutusan secara sepihak, sebab surat pemutusan kerja sama tersebut didasarkan pada fitnah yang bertentangan dengan fakta sesungguhnya. Dimana PT SIM tidak pernah terlambat atau menunggak pembayaran biaya kontribusi tahunan pada 2015/2017 sebagaimana dituduhkan dalam surat pemutusan hubungan kerja.
PT SIM selalu membayar biaya kontribusi tahunan sesuai Perjanjian Kerja Sama yang telah disepakati mulai dari tahun 2017 s/d 2019. Selain itu PT SIM juga berkomitmen membayar kontribusi tahunan dan pembagian hasil sebesar 10 persen di tahun ke-10.
Pembayaran kontribusi baru dilakukan sejak 2017 karena tahun 2014 s/d 2016 adalah masa konstruksi yang belum dikenakan kewajiban membayar kontribusi. Sebab itu, alasan pemutusan kerja sama tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur Pasal 236 Ayat (2) Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Kesewenang-wenangan Pemerintah Provinsi NTT semakin terlihat jelas dengan mengabaikan tata cara pengakhiran perjanjian yang diatur di dalam Pasal 237 Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan jalan pintas tanpa didahului peringatan yang harus dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dan masing-masing peringatan memiliki jangka waktu 30 (tiga puluh hari) kalender.
Teranyar, Pemprov NTT mengambil alih aset yang sebelumnya dikelola PT SIM di Labuan Bajo, Sabtu (18/4). PT SIM melalui Khresna Guntarto, SH selaku penasehat hukum mengatakan, menolak desakan penyerahan dan pengosongan paksa tanah dan bangunan.
Sebab, PT. SIM merasa tidak wanprestasi kepada Pemprov NTT, sehingga upaya paksa pengosongan tersebut, dinilai merupakan perbuatan penyalahgunaan kewenangan, apalagi dilakukan di tengah bencana Covid-19.
PT SIM menilai perbuatan aparatur Pemprov NTT juga terkesan seperti preman yang secara sepihak, ingin mengambil alih tanah dan bangunan, tanpa disertai Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Dikatakan Khresna, PT SIM yang mati-matian sedang mempertahankan usaha perhotelan dalam kondisi saat ini, menjadi dipaksa untuk gulung tikar akibat desakan Pemprov NTT kepada PT. SIM untuk menyerahkan bangunan dan meninggalkan lokasi Pantai Pede.
Seyogyanya, kata Khresna, Pemprov NTT tidak merampas hak PT. SIM, yang juga bagian dari masyarakat Negara Republik Indonesia. PT SIM telah mendedikasikan diri sebagai investor sekaligus mitra kerja sama untuk mengembangkan pariwisata di Labuan Bajo, serta memberdayakan masyarakat setempat.
"Perbuatan Pemprov NTT mengusir PT. SIM dengan sewenang-wenang menunjukan hilangnya keadilan dan kepastian hukum, serta kemudahan berusaha di Provinsi NTT," ungkap Khresna.
Pemutusan kerja sama sepihak oleh Pemprov NTT, dinilai tidak sesuai dengan visi misi pemerintah pusat mengenai upaya meningkatkan peran serta masyarakat dan meningkatkan investasi domestik maupun internasional. Dikatakan Khresna, pihaknya mengkhawatirkan adanya agenda terselubung dibalik pengambialihan lahan Pantai Pede.
"Terutama mengingat Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai destinasi wisata premium oleh Pemerintah Pusat," ujar Khresna.
Selain pengaduan kepada Ombudsman RI, PT. SIM juga mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI selaku pengawas jalannya pemerintahan daerah. PT. SIM memohon kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI dapat memerintahkan atau mengingatkan Pemerintah Provinsi NTT agar bijaksana dan manusiawi terhadap para mitra kerja sama ataupun para pelaku usaha di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
KEYWORD :Ombudsman Pemprov NTT Kasus Hukum