Rabu, 27/11/2024 11:18 WIB

Ribka, Okky, dan Reza Korban Stigma, Pakar: Kita Tak Menganut Dosa Turunan

Kalau seseorang jadi PKI, anaknya tak menanggung dosa dia. Itu sama dengan jika seorang ayah melanggar hukum, anaknya kan tak harus diadili.

Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam

Jakarta, Jurnas.com - Stigmatisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) masih menjadi alat politik yang digunakan sebagai senjata menuju pemilu 2024.

Hingga saat ini pun, masih saja ada pihak yang menggoreng stigma terhadap anak-anak dan keturunan keluarga yang dulu terlibat PKI, demi kepentingan politik.

Sosok seperti Robka Tjiptaning (Anggota DPR dari PDI Perjuangan), Okky Asokawati (mantan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan yang kini pindah ke Partai Nasdem), dan Reza Rahadian (aktor kenamaan) adalah contoh, bagaimana stigma anak PKI masih kerap disebut-sebut.

"Kalau seseorang jadi PKI, anaknya tak menanggung dosa dia. Itu sama dengan jika seorang ayah melanggar hukum, anaknya kan tak harus diadili. Kita tak menganut dosa turunan," ujar Profesor Riset bidang sejarah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, Selasa (7/7/2020).

Asvi menegaskan, jika ortunya PKI atau ormas kiri, maka anaknya tak otomatis menganut komunis atau kiri. Apalagi ajaran PKI itu tak bisa lagi dikembangkan di Indonesia, alias sudah punah.

Sejarawan senior ini menyontohkan bagaimana tudingan tak berdasar itu merugikan DPR dan partai seperti PDI Perjuangan (PDIP) yang memiliki anggota bernama Ribka Tjiptaning.

Karena menulis sebuah buku tentang pengalamannya sebagai anak dari orang tua yang dituduh PKI, sampai sekarang Ribka dianggap PKI, DPR dianggap mengakomodasi PKI, dan PDIP dituduh mempunyai 85 persen anggota bekas PKI.

Padahal, jelas Asvi, untuk menjadi caleg saja, setiap orang termasuk Ribka harus ada screening dan surat bebas PKI dari Kepolisian. Artinya seorang anggota PKI takkan mungkin lolos.

"Maka jika masih ada yang menuduh PKI, seharusnya dia dipaksa membuktikan atau dilaporkan ke pengadilan," ujar Asvi.

Kalau buku Ribka sendiri dibaca, lanjut Asvi, isinya adalah soal pengalaman hidupnya yang menderita setelah ayahnya, sebagai pengusaha yang berhubungan dengan banyak orang ditangkap rezim Orba karena alasan PKI pada 1965.

Di buku itu, Ribka bercerita bagaimana kesulitan hidup pasca-ayahnya ditangkap, berjualan sayur dan lemper, demi menghidupi keluarga.

"Jadi isinya penderitaan anak yang kebetulan ayahnya dituduh PKI. Gus Dur dalam kata pengantar buku itu menulis dengan alasan kemanusiaan, bahwa ada satu orang anak perempuan distigma PKI, sehingga mengalami berbagai hambatan di kehidupannya," ungkap Asvi.

Ia menyebut tak ada sama sekali di buku itu bahwa 85 persen PDIP itu PKI.

"Kalau Alfian Tanjung menyatakan itu, harusnya dia diadili. Ini perlu ditekankan, meskipun ortunya dituduh PKI, anaknya belum tentu. Jadi hemat saya, jangan ada lagi tuduhan PKI di DPR atau di partai tertentu," lanjut Asvi.

Ia juga menuturkan kisah Okky Asokawati, anak dari AKBP Anwas Tanuamidjaja, orang kedua setelah Letkol Untung, dalam peristiwa G30S/PKI. Mantan anggota DPT dari PPP ini pun mengalami penderitaan yang sama dengan Ribka karena ayahnya ditahan belasan tahun.

Dengan topangan ibunya mengajar les piano, Okky berkarir sebagai peragawati, yang kerap dilakukannya sembari mengunjungi ayahnya di tahanan.

"Okky tak memilih ayahnya jadi komandan G30S. Tapi faktanya demikian. Okky sendiri bukan komunis dan bahkan solehah. Tak ada skandalnya sebagai bintang film, sebagai anggota DPR juga diteladani," papar Asvi.

Buku Okky sendiri tak dipermasalahkan orang karena judulnya `Jangan Menoleh Ke Belakang`.

Satu lagi adalah kisah Reza Rahardian, aktor terkenal saat ini yang memiliki nenek bernama Fransisca Casparina Fanggidaej. Neneknya itu merupakan anggota Parlemen Indonesia yang kebetulan di tahun 1965 sedang berada di Beijing.

Mengetahui situasi politik terkait PKI saat itu, Fransisca memilih bertahan dan tak kembali supaya anak serta keluarganya tak dikaitkan dengan PKI. Padahal, Fransisca sudah berjuang untuk kemerdekaan RI dan ikut terlibat di perjuangan 10 November 1945 di Surabaya.

"Dia dekat Soekarno, dan takut pulang. Selama 20 tahun di Tiongkok, lalu minta suaka ke Belanda. Dari sana dia mengabarkan ke keluarganya bahwa dia masih hidup. Bayangkan dia memendam rahasia 20 tahun. Bayangkan hidup anaknya di Indonesia. Dia khawatir kalau anaknya dia beritahu pada 1965, anak-anaknya ditangkap," kata Asvi.

Sejarawan kelahiran Sumatera Barat itu menilai, sama seperti anak keluarga terkait pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, dan RMS, seharusnya anak-anak keluarga yang dikaitkan PKI tak menjadi korban. Sebab kesalahan orang tua tak seharusnya menjadi tanggung jawab anak dan cucu.

"Saya ingin katakan bahwa partai dan DPR itu bersih dari PKI. Jangan ada tuduhan lagi. Tak ada partai yang PKI sekarang ini. Kalau ada buktinya langsung laporkan ke bareskrim. Tak ada di parlemen kita itu PKI. Bahaya laten PKI adalah halusinasi menurut saya," pungkas Asvi.

KEYWORD :

Partai Komunis Indonesia Sejarawan Ribka Tjiptaning Okky Asokawati Reza Rahadian




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :