Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim (Foto: Muti/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim kembali menuai sorotan, usai terungkap bahwa jargon `Merdeka Belajar` yang menjadi program andalan menteri milenial tersebut sudah menjadi merek dagang perusahaan pendidikan swasta, Cikal, milik Najelaa Shihab.
Menurut penelusuran Jurnas.com, dalam dokumen Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kementerian Hukum dan HAM nomor IDM000760123, Merdeka Belajar terdaftar milik PT Sekolah Cikal, yang beralamat di Jalan TB Simatupang, Kav.18, Cilandak, Jakarta Selatan.
Kenyataan ini membuat sejumlah pihak khawatir. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mempertanyakan apakah istilah yang sudah ada sejak zaman Kihajar Dewantara itu masih boleh digunakan untuk umum.
Dia juga melontarkan pertannyaan apakah Kemdikbud yang mengunggulkan kebijakan Merdeka Belajar wajib membayar royalti kepada Sekolah Cikal, yang notabene perusahaan swasta.
"Harus clear. Jangan sampai ada interpretasi. Misalnya, seolah-olah negara menggunakan idiom yang sudah dipakai oleh perusahaan. Berarti sama saja mempopulerkan perusahaan tersebut," kata Satriwan dalam konferensi pers via platform daring pada Jumat (10/7).
Lain lagi Kepala Bidang Pendidikan NU Circle, Ahmad Rizali. Dia menyebut Kemdikbud saat ini tidak sadar sedang menjual nilai dari suatu merek swasta.
Pun bila perusahaan tersebut tidak menuntut pemerintah untuk membayar royalti, Kemdikbud tetap saja tersandera menurut Rizali.
"Kalau diperpanjang, dampaknya ke Kemdikbud bisa parah. Bisa dianggap akan mengalami peningkatan nilai merek, nanti dianggap bisa bernilai dan Kemdikbud bisa dianggap menggunakan APBN untuk memperkaya si pemilik merek," ujar Rizali.
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas menilai ada sebuah upaya untuk mengkapitalisasi konsep yang sudah menjadi milik publik, untuk diprivatisasi menjadi suatu merek dagang atau produk. Apalagi penggunaan merek tersebut berkonsekuensi hukum di kemudian hari.
"Sangat mungkin Mbak Ela (Najelaa, Red) tidak mengutip royalti, karena kebetulan konsep Merdeka Belajar itu ada duluan sebelum Mas Menteri (Nadiem, Red). Kalau cuma begitu tidak masalah. Yang masalah ketika perusahaan Mbak Ela memperoleh royalti dari APBN," tutur Darmaningtyas.
"Secara generik itu konsep pendidikan. Tetapi apakah kemudian ini dikapitalisasi atau tidak itu soal lain. Menurut saya persoalannya proses kapitalisasinya. Itu yang bisa jelasin cuma dua orang, Mbak Ela dan Mas Nadiem," imbuh dia.
Dalam kesempatan yang sama, Najelaa membantah memperoleh royalti atas penggunaan merek Merdeka Belajar. Dia mengungkapkan Merdeka Belajar sudah didaftarkan sejak 2018 lalu ke Kemkumham, namun baru disetujui pada 22 Mei 2020.
Najelaa juga menyebut perusahaannya sudah meneken surat pernyataan dengan Kemdikbud, yang membolehkan kementerian tersebut menggunakan Merdeka Belajar untuk kepentingan pendidikan dan pengetahuan.
"Saya tegaskan kembali, penggunaan oleh Kemdikbud tidak ada kompensasi atau royalti. Apakah akan ada tuntutan, tidak," tegas Najelaa.
Terkait hal ini, Indra Charismiadji, Direktur Center for Education Regulations Development Analysis (Cerdas) yang dihubungi secara terpisah mengatakan, meski tidak mendapatkan royalti dari APBN secara langsung, kapitalisasi tetap akan tetap terjadi.
Paling tidak, kata Indra, Kemdikbud melalui programnya saat ini sedang mempromosikan merek Cikal. Karenanya, Direktur Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia itu menyarankan Mendikbud melakukan pergantian program.
"Jadi mereka mendapatkan keuntungan walaupun tidak mendapatkan aliran APBN," tegas Indra. Saran saya pemerintah mengganti programnya dengan yang asli karya Kemdikbud, jangan milik pihak swasta," tandas dia.
KEYWORD :Merdeka Belajar Kemdikbud Perusahaan Swasta Royalti Sekolah Cikal