Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachdim
Jakarta, Jurnas.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Makassar Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menilai rencana Presiden Joko Widodo membubarkan 18 lembaga negara sebagai kebijakan yang tepat.
Kebijakan pembubaran 18 lembaga negara itu adalah terobosan yang sangat konstruktif, serta solutif dalam mengurai salah satu problem ketatanegaraan yang di alami bangsa dan negara selama ini," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/7/2020).
Ia menjelaskan, Beleeid presiden terhadap pembubaran 18 lembaga negara sangat tepat jika ditinjau dari aspek konstitusi dan kajian hukum tata negara secara mendalam.
"Ini kebijakan yang komprehensif dan substantif untuk menata overlapping kewenangan dan beban anggaran negara. Jadi itu sebagai ‘Moment of Truth’ penataan inflasi lembaga negara Independen," tegasnya.
Menurut Fahri Bachmid, pembubaran lembaga negara itu harus Jokowi jadikan sebagai “Moment of Truth” dalam menata serta mengkonsolidir kelembagaan negara secara baik, tepat, presisi, dan proporsional sesuai konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Ia menilai Presiden Jokowi membutuhkan basis legitimasi yuridis yang kuat dan terukur. Dan opsi hukum yang dapat ditempuh adalah presiden Jokowi menyiapkan RUU Tentang Pembubaran Kelembagaan Negara, serta mengatur segala akibat hukumnya.
"Dengan dasar hukum itu, presiden juga dapat diperlengkapi dengan instrumen kewenangan untuk mengatur dan menata kelembagaan negara kedepan," terangnya.
Artinya, papar Fahri, jika presiden membubarkan lembaga negara melalui UU, maka tentunya harus melalui mekanisme ketatanegaraan dengan melibatkan DPR untuk membahasnya.
Adapun jika pembubaran Lembaga, Badan, atau Komisi dengan dasar hukum setingkat peraturan perundang-undangan di bawah UU, maka cukup presiden dengan kekuasaanya berdasarkan UUD 1945, serta berdasarkan kajian hukum dan ketatanegaraan terkait rancang bangun desain kelembagaannya yang dapat membubarkan serta mengaturnya.
"Itu adalah pilihan politik hukum yang dapat digunakan presiden sebagai kepala negara," tandas Fahri Bachmid.
Secara teknis ketatanegaraan, Fahri Bachmid mengatakan presiden Jokowi sudah pernah melakukan pembubaran sekitar 23 lembaga atau Badan sejak menjabat dari 2014 silam.
Karenanya, lanjut Fahri, rencana pembubaran 18 lembaga ata Badan dalam waktu dekat ini bukan persoalan rumit dan kompleks, termasuk bagaimana mengatur dampak serta alokasi ASN/pegawai yang lembaganya di Likuidasi untuk disalurkan kepada lembaga “existing” sebagaimana mestinya.
Secara empiris, problem inflasi lembaga negara idependen atau kehadiran Lembaga, Komisi dan badan pemerintahan ini mengalami ekspansi secara signifikan karena setiap muncul masalah nasional atau kebijakan membentuk peraturan perundang-undangan untuk urusan tertentu oleh DPR dan Presiden, maka dimunculkan suatu lembaga negara baru tanpa adanya “blue print” yang jelas tentang hakikat serta konsep dasar pembentukan lembaga negara tersebut.
"Salah satu bentuk perkembangan teori dan praktik hukum tata negara modern yang banyak diperdebatkan adalah hadirnya organ negara yang dikenal dengan “komisi negara” atau ‘lembaga negara independen’ atau “state auxiliary bodies” atau “state auxiliary agencies”.
Muara perdebatan ini, hadirnya komisi negara menjadi semacam keniscayaan dalam menjawab kebutuhan praktik ketatanegaraan. Selain itu, kehadiran komisi negara juga didorong oleh fakta munculnya krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara konvensional. Dengan demikian Lembaga, Badan atau Komisi negara diproduksi secara tidak terkendali," terangnya.
Lebih lanjut, Fahri Bachmid mengatakan setelah reformasi 1998, lembaga negara independen mulai mendapat tempat dan eksis, karena pada umumnya kinerja lembaga konvensional dianggap tidak memadai.
Namun secara teoritik, pertumbuhan lembaga negara independen yang tidak terkendali itu menimbulkan problem teknis ketatanegaraan dan pemerintahan, seperti “overlapping” kewenangan serta membebani keuangan negara.
Menurut Fahri Bachmid, secara akademis, berbagai lembaga negara/komisi/badan itu lahir tanpa konstruksi desain serta konsep ketatanegaraan yang komprehensif, serta pola pengaturan yang terukur, mulai dari dasar hukum, nomengklatur, bentuk, sistem rekruitmen serta relasi hubungan antar organ-organ kelembagaan negara menjadi rancu dan bias.
"Dari rangkaian keseluruhan permasalahan itu sedikit banyak telah berkontribusi atas terjadinya inflasi lembaga negara independen/badan/komisi saat ini, sehingga dengan demikian menjadi urgent serta bermanfaat jika pemerintah mulai memikirkan serta mengambil peran untuk melakukan konsolidasi serta menata kembali lembaga negara independen dalam kerangka organisasi negara dalam bingkai penguatan sistem pemerintahan presidensial," tambahnya.
Kata Fahri, eksistensi kelembagaan lembaga negara dapat ditelusuri dari pola pengaturan dengan beragam dasar hukum pembentukannya, mulai dari dasar pembentukan dengan derajat hukum pada level konstitusi (UUD 1945) seperti Komisi Yudisial (KY) dan KPU, maupun pengaturan dengan dasar hukum UU seperti KOMNAS HAM, KPK, KPI, ORI dan Dewan Pers.
Sementara itu, ada juga yang diatur dengan mantel hukum berupa Peraturan Pemerintah seperti PPATK, Komnas Perempuan serta KPAI dan lain-lain. Berdasarkan data empiris terkait keberadaan lembaga-lembaga tersebut dapat dikelompokan dalam dua potret rezim kepemerintahan.
Pertama, Lembaga, Badan atau Komisi yang tergolong didalam Lembaga Negara Non-struktural yang didalamnya terdapat puluhan Badan, Komisi, Dewan, Lembaga, Komite, Komisi, Konsil dll.
Kedua, yang tergolong kedalam Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang didalamnya terdapat Puluhan Lembaga/Badan seperti mulai dari Lembaga Administrasi Negara sampai dengan Badan Narkotika Nasional.
"Sekarang saatnya presiden mengambil peran konstitusional yang besar ini sebagai negarawan untuk melakukan konsolidasi sebagai sebuah upaya serta urgensi penataan lembaga negara independen," tutup Fahri Bachmid.
Pembubaran lembaga negara Fahri Machmid