Sabtu, 23/11/2024 18:58 WIB

Kesaksian Militer Turki Jadi "Tumbal" Kudeta Rekayasa Erdogan

Gundogdu tidak pernah menyangka peristiwa kudeta gagal pada 16 Juli 2016 silam akan mengubah nasibnya 360 derajat, dari seorang pembela negara menjadi buronan.

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Foto: Kayhan Ozer/Anadolu Agency)

Berlin, Jurnas.com - Gundogdu tidak pernah menyangka peristiwa kudeta gagal pada 16 Juli 2016 silam akan mengubah nasibnya 360 derajat, dari seorang pembela negara menjadi buronan.

Pemilik nama lengkap Letnan Muhammed Emin Gundogdu itu merupakan satu dari ratusan tentara yang jadi tumbal atas percobaan kudeta berbau konspirasi tersebut.

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan media Jerman, Euronews pada Selasa (21/7), Gundogdu menuturkan bahwa kisahnya berawal pada 15 Juli 2016. Kala itu, dia sedang mengemasi perlengkapannya untuk bersiap pulang ke rumah.

Namun belum pula ia menjejakkan kaki ke pintu keluar, komandannya, Muhlis Kocak lewat pesan WhatsApp memerintahkan seluruh pasukan untuk menggelar sesi pelatihan malam hari yang bersifat wajib. Gundogdu pun membatalkan rencana kepulangannya.

"Komandan kami tidak pernah muncul malam itu," ungkap Gundogdu.

Dalam arahannya, Muhlis memerintahkan pasukan untuk menghadapi kemungkinan serangan teroris, para prajurit juga diberikan amunisi lengkap. Gundogdu sempat merasa ganjil karena itu tidak seperti pelatihan biasanya.

Dia dan sejumlah rekan militer lainnya pun sempat bertanya-tanya apakah mereka sedang diserang oleh ISIS, atau kelompok radikal lainnya.

Singkat cerita, pasukan militer Turki diberangkatkan ke berbagai lokasi. 40 di antaranya dikirim ke istana presiden Presiden Recep Tayyip Erdogan, dan ditugaskan untuk melindungi sang presiden.

Namun malang, perintah tersebut nyatanya sebuah jebakan. Pasalnya, para prajurit yang bertugas menjaga presiden malah dituduh akan membunuh presiden.

"Para prajurit itu ditempatkan di pangkalan Komando Gendarmerie, di seberang istana, yang kemudian belakangan malah dituduh berusaha membunuh presiden," kata Gundogdu.

Dia mengatakan, di antara 36 orang yang terbunuh malam itu adalah rekan-rekannya yakni Abdulkadir Karaagac dan Ramazan Erdogan. Menurut keterangan Gundogdu, mereka tewas karena percaya sedang mempertahankan istana presiden.

Pemerintah Turki menolak memberikan informasi tentang keberadaan jenazah Karaagac kepada keluarganya. Setelah 15 hari, mereka menemukannya di tenda sebuah kampus unit forensik.

"Mereka memanggilnya pengkhianat, meskipun dia adalah salah satu orang terbaik yang saya kenal dalam hidup saya," ujar Gundogdu.

Keluarga Karaagac tidak mendapatkan izin untuk menguburkan putra mereka di pemakaman lokal. Sehingga, kata Gundodgu, mereka terpaksa menguburkannya di sebuah perbukitan, di kuburan yang tidak ditandai.

Gundogdu sendiri baru mengetahui adanya upaya kudeta militer terhadap pemerintah Erdogan ketika Perdana Menteri Binali Yildirim mengumumkan di televisi, sekitar pukul 23.00 waktu setempat.

"Kami tidak diizinkan keluar dari pangkalan. Saya pikir komandan kami antikudeta," tutur dia.

Dan sekitar pukul 01.00 dini hari, para prajurit kembali ke asrama. Gundogdu mengatakan dia tidur selama beberapa jam sebelum terbangun oleh suara tembakan sekitar pukul enam pagi.

"Kolonel Veli Tyre dan sepuluh orangnya mengancam akan menembak siapa pun yang mencoba meninggalkan pangkalan," ucap Gundogdu.

Tak lama kemudian, Muhlis Kocak muncul. Padahal malam sebelumnya dia tak sekalipun menampakkan batang hidungnya di lapangan. Kepada prajurit, Muhlis menuturkan bahwa terdapat sekelompok tentara mencoba melakukan kudeta.

Gundogdu bersikeras mengatakan bahwa dia dan teman-temannya tidak terlibat kegiatan itu. "Namun kami tetap ditahan," ungkap dia.

"Kami berjumlah 300 orang, bersenjata lengkap, ditahan oleh 10 orang hanya dengan pistol, tetapi kami tidak melakukan apa-apa. Kami mengikuti instruksi," kenang dia.

Karena tidak ada borgol yang cukup untuk mengikat 300 tentara, Gundogdu mengaku mereka saling membantu untuk mengikat tangan satu sama lain, dengan tali sepatu bot mereka sendiri.

"Kami diyakinkan bahwa semuanya akan dibersihkan namanya di kantor polisi dan akan segera dibebaskan," ujar Gundogdu.

Namun yang terjadi sebaliknya. Pasukan `tumbal` dipindahkan ke sebuah kandang kuda di Ankara. Mereka dipaksa membuka baju dan berlutut.

Gundogdu melaporkan bahwa semua orang dipukuli dan disiksa. Mereka juga difoto. "Pergelangan tangan saya memar karena borgol yang kencang. Kami harus pergi ke kamar mandi, diborgol, makan dengan kondisi terborgol," sambung Gundogdu yang juga merasakan tangannya berubah ungu karena kurangnya sirkulasi.

Ketika salah satu di antara pasukan ketahuan mengeluh, lanjut Gundogdu, petugas polisi menyerukan, "Kamu pengkhianat, bersyukurlah kamu masih hidup."

Setelah dua hari di kandang kuda, pasukan `tumbal` ini dikirim ke kompleks olahraga lain selama empat hari, sebelum akhirnya dipenjara selama sembilan bulan dalam penahanan tanpa peradilan.

Pada 2018, Gundogdu mencoba melarikan diri dari Turki, namun gagal dan harus mendekam 13 bulan lagi di balik jeruji besi.

"Mereka tidak hanya memecat saya dari jabatan saya dan memenjarakan saya, tetapi juga mendiskriminasi saya di masyarakat. Mereka mencegah saya memiliki pekerjaan lain. Kerabat saya memutuskan hubungan. Tetangga kami secara verbal melecehkan keluarga saya dan saya sendiri, menyebut kami pengkhianat," tutur dia.

Pada Januari tahun ini, Gundogdu berhasil melarikan diri ke Yunani. Dari sana, ia melakukan perjalanan ke Jerman, yang menurut badan pemerintah untuk migran dan pengungsi (BAMF) ia berada di antara lebih dari 39.000 warga negara Turki yang telah mencari suaka sejak 2016.

Namun, akibat pelariannya, kini dia terancam hukuman seumur hidup.

"Upaya kudeta itu adalah permainan yang dirancang oleh pemerintah untuk memuluskan kepemimpinan Presiden Erdogan," tegas Gundogdu.

Dia mengatakan tidak pernah ingin meninggalkan Turki, tetapi akhirnya tidak punya pilihan lain.

Diketahui, kudeta gagal 15 Juli 2016 mengakibatkan 251 orang meninggal, dan 2.200 lainnya terluka. Pemerintah Turki menuduh gerakan Gulen, kelompok Muslim yang dipimpin oleh ulama yang berbasis di AS Fethullah Gulen, berada di balik upaya tersebut.

Sejak itu, lebih dari 500.000 orang telah ditahan, dan lebih dari 150.000 orang telah dipecat dari pekerjaan mereka.

Ribuan orang meninggalkan Turki, termasuk di antaranya petugas keamanan, hakim, jaksa, pegawai negeri, guru, akademisi, dan jurnalis. Prajurit dan kadet militer, sebagian berusia 17 tahun, ditangkap dan dipenjara. Banyak yang menerima hukuman seumur hidup.

KEYWORD :

Recep Tayyip Erdogan Kudeta Gagal Turki




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :