Sabtu, 23/11/2024 14:29 WIB

Djoko Tjandra dan Jejaring Mafia Politik di Parpol dan DPR, Siapa?

Buronan negara Djoko Tjandra diduga dibackingi elite politik dan memiliki jaringan mafia politik di partai dan parlemen. Sebab, Djoko Tjandra sebagai buronan negara bisa dengan mudah keluar masuk Indonesia.

Buronan terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra

Jakarta, Jurnas.com - Buronan negara Djoko Tjandra diduga dibackingi elite politik dan memiliki jaringan mafia politik di partai dan parlemen. Sebab, Djoko Tjandra sebagai buronan negara bisa dengan mudah keluar masuk Indonesia.

Dugaan itu disampaikan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus, kepada wartawan, Jakarta, Kamis (23/7).

Menurutnya, dugaan itu semakin kuat ketika Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin melarang rapat gabungan Komisi III DPR dengan tiga institusi penegak hukum untuk membahas kasus Djoko Tjandra. Dimana, Azis berdalih tidak mengizinkan rapat itu karena alasan tata tertib DPR.

"Itu artinya penolakan terhadap RDP Komisi III oleh Pimpinan DPR mungkin dan sangat mungkin karena isu Djoko Tjandra yang ingin jadi pokok pembahasan. Sama sekali bukan karena dilarang oleh Tatib DPR," kata Lucius.

Atas dasar itu, Lucius menyebut, perjalanan atau sepak terjang Djoko Tjandra dapat dengan mudah keluar masuk Indonesia bisa jadi karena dibackingi elite partai politik tertentu. Menurutnya, paling tidak Djoko memiliki jejaring dengan mafia politik.

"Sangat mungkin kemudahan Djoko Tjandra keluar masuk Indonesia dengan status buron itu memang karena dibacking elit politik atau minimal punya hubungan dengan jejaring mafia politik baik yang di parlemen maupun di partai politik," katanya.

Untuk diketahui, Djoko Tjandra lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 27 Agustus 1950. Setelah lulus dari Stamford College, Singapura, Djoko berwiraswasta di Jakarta. Namanya ketika itu kalah populer dengan taipan lain, tapi perlahan bisnisnya maju pesat. Mulia Tower, Mulia center, dan plaza 89, adalah beberapa gedung yang dibangunnya dan menjadi pusat bisnis Djoko Tjandra.

Seiring dengan itu, Djoko kemudian berkiprah di dunia politik. Bersama dengan Marimutu Manimaren dan mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, dia ikut memperkuat jajaran bendahara Golkar. Ia mengaku punya akses ke orang-orang kuat di pemerintah.

Di Golkar, Djoko juga menjadi kawan dekat Setya Novanto. Bahkan keduanya berkongsi bisnis di PT Era Giat Prima. Perusahaan Setya Novanto bersama Djoko Tjandra dan Cahyadi Kumala ini mendapat mandat menagih utang Bank Bali kepada Bank Dagang Nasional Indonesia.

Imbalannya Rp 500 miliar. Pembayaran ini merugikan negara, tapi pengusutannya dihentikan pada 2003. Setya adalah bekas Ketua Umum Golkar dan mantan Ketua DPR yang kini menjadi terpidana kasus korupsi KTP elektronik.

Adapun Azis Syamsuddin melarang rapat gabungan itu dengan mengacu Pasal 1 pada Tatib DPR yang mengatur masa reses merupakan masa dimana DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

"Pasal 1 Tatib DPR sebagaimana juga sering dijadikan acuan oleh Azis sudah tepat mendefinisikan masa reses. Tak ada pengecualian yang tertulis di situ. Tidak dibedakan misalnya untuk membahas RUU tertentu bisa dilakukan pada masa reses, sementara RDP Pengawasan tidak bisa," kata Lucius.

Sementara, kata Lucius, dalam Pasal 52 ayat 2 dalam Tatib DPR disebutkan, apabila dalam masa reses ada masalah yang menyangkut wewenang dan tugas DPR yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan, pimpinan DPR secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi.

"Tatib menegaskan prinsip dasar reses sebagai waktu bagi DPR untuk berkegiatan di luar DPR terutama melakukan kunjungan kerja. Pun Pasal 52 ayat (2) juga tak menyebut adanya perbedaan terkait fungsi DPR dalam konteks sebuah kegiatan yang dilakukan di masa reses," terangnya.

Menurutnya, yang menjadi persoalan sekarang adalah penolakan yang disampaikan Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR bidang Korpolkam atas permintaan RDP Komisi III karena menjadikan reses dengan pengertian seperti yang ada pada Pasal 1 Tatib DPR.

"Yang langsung terlihat adalah betapa tidak konsistennya aturan Pasal 1 maupun pasal 52 diterapkan oleh DPR saat ini," tegasnya.

Padahal, lanjut Lucius, sejak reses masa sidang III lalu, DPR khususnya Baleg rutin mengadakan rapat pembahasan RUU Cipta Kerja. Pada reses yang sekarang hal yang sama masih terus berlangsung.

"Pertanyaannya kenapa kegiatan pembahasan RUU ini tidak dilarang? Aturan mana di Tatib DPR yang mengecualikan pembahasan legislasi bisa terus dilanjutkan pada masa reses?" tegasnya mempertanyakan.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi III DPR Pimpinan DPR Azis Syamsuddin Djoko Tjandra




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :