ST. Burhanuddin, Jaksa Agung
Jakarta, Jurnas.com - Jaksa Agung ST. Burhanuddin telah memberi paparan terkait sembilan bulan kinerja kejaksaan saat peringatan Hari Bhakti Adyaksa (HBA) ke-60 dengan slogan “terus bergerak dan berkarya“.
Namun sorotan terhadap kejaksaan semakin dalam lantaran kecolongan sebagai tim eksekutor terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra.
Alih-alih menangkap, Kejaksaan malah mengaku tidak mengetahui saat Djoko Tjandra bebas datang ke Indonesia dan kabarnya sudah mengurus mendaftarkan peninjauan kembali (PK) kasus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui pelayaan terpadu, pada 8 Juni 2020. Bahkan Djoko Tjandra sempat terdeteksi nonton sidang di PN Jakarta Selatan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin memang secara terbuka mengaku kecolongan atas informasi buron kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra datang ke Indonesia.
Saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI Senin (29/6), Burhanuddin juga mengakui, adanya kelemahan intelejen kejaksaan terkait keberadaan Djoko.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan meski sejauh ini dia belum menemukan keterlibatan jaksa, namun dia kecewa karena Kejaksaan Agung bisa kecolongan.
"Setahu saya, jaksa tidak tahu. Dan tahunya belakangan setelah (Djoko Tjandra) pergi lagi. Saya kecewa kenapa kejaksaan bisa nggak tahu sampai kebobolan atau kecolongan itu," kata Boyamin.
Menurutnya, jaksa eksekutor yang tergabung dalam tim tabur itu baru mengetahui setelah Djoko Tjandra kembali ke Malaysia setelah selama beberapa hari di Indonesia.
Kejaksaan kecolongan sebagai tim eksekutor terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra itu karena tidak mengetahui saat Djoko Tjandra ke Indonesia untuk mengurus bisnis dan pembuatan e-KTP, pasport dan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Adapun Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menilai, Jaksa Agung ST Burhanuddin perlu melakukan evaluasi internal, khususnya terkait sistem intelejen kejaksaan.
Pasalnya, Kejaksaan Agung secara terang-terangan mengaku kecolongan sebagai tim eksekutor terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra, yang kabarnya datang ke Indonesia mengurus e-KTP.
"Masyarakat perlu tahu, apakah kecolongan oleh Djoko Tjandra ini karena system failure atau by design," ujar Hari, Jumat (24/7/2020).
Hari mengaku heran, sampai saat ini Jaksa Agung seperti tenang-tenang saja, padahal Burhanuddin mengakui sendiri kalau intelejennya kecolongan.
"Mestinya dia setidaknya memeriksa jajaran JAM Intel untuk bisa menisik dimana letak kelemahan sistem intelejennya dan mengumumkan hasilnyake publik. Jangan sampai masyarakat berpikir kalau top level kejaksaan ada yang bermain mata dengan Joker (Djoko S Tjandra),” papar aktifis 98 dari Kampus Mustopo itu.
Kata Hari, kasus Djoko Tjandra adalah puncak gunung es persoalan dalam program perburuan Buronan yang jelas mempengaruhi citra Kejaksaan Agung. Padahal cita-cita Burhanuddin adalah membangun kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan.
Sementara itu, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Prof Faisal Santiago mengatakan di HBA ke-60 masih marak berita tentang perilaku jaksa nakal.
Dia melihat perlunya ada evaluasi terkait pengawasan dan pembinaan terhadap pejabat struktural terutama eselon I, hal itu diperlukan mengingat sejumlah kejadian belakangan ini terkait ada oknum jaksa yang "main mata" dengan orang yang memiliki permasalahan hukum.
Santiago menilai Jaksa Agung harus segera mengisi kursi jamwas yang sementara ini kosong. Sosok Jamwas Kejaksaan Agung (Kejagung) itu harus yang mempunyai integritas dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap para jaksa dan memeriksanya apabila melanggar kode etik dan menyalahi aturan perundang-undangan.
Hal tersebut untuk mengembalikan marwah kejaksaan menjadi suatu institusi yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Oleh karena itu, kejaksaan menjadi salah satu instusi yang paling tidak dipercaya publik.
"Maka perlu adanya terobosan baru dengam segera merombak struktur di bawah," jelasnya.
Kosongnya kursi Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) bisa dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pejabatnya. Sehingga jika diperlukan, posisi Jamwas bisa menjadikan lokomotif untuk melakukan perombakan struktur eselon I.
Jaksa Agung harus berani mengevalauasi jabatan struktural yang ada dengan mengedepankan kompetensi dan kemampuan. Sebab fakta menunjukkan, tidak sedikit pejabat yang tidak kompeten akibat nepotisme di masa lalu.
Djoko Tjandra ST Burhanuddin Kejaksaan Agung HBA ke-60