Anggota DPR, Saleh Partaonan Daulay
Jakarta, Jurnas.com - Pemerintah diminta segera mengevaluasi proses kegiatan belajar mengajar (KBM) yang dilakukan sekolah-sekolah. Pasalnya, ada banyak keluhan dari orangtua murid terkait kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan pola belajar-mengajar yang diterapkan. Keluh kesah tersebut banyak tersebar di media sosial.
Teranyar, Dimas Ibnu Alias, seorang siswa SMPN di Rembang, Jawa Tengah yang terpaksa belajar di sekolah sendirian akibat tidak memiliki smartphone untuk mengikuti pelajaran dari sekolah.
Keluhan proses belajar mengajar ala pandemi Covid-19 ini paling banyak dirasakan ibu-ibu rumah tangga. Sebab, merekalah yang tinggal di rumah dan mengawasi kegiatan belajar anak-anaknya. Sementata para suami, biasanya pergi bekerja mencari nafkah.
Hal itu disampaikan Anggota DPR RI Saleh Partaonan Daulay, melalui rilisnya, Senin (27/7). Menurutnya, kasus seperti Dimas ini diyakini banyak di berbagai daerah di Indonesia.
"Sebab, ada banyak warga masyarakat yang tidak bisa mengakses internet. Terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok dan daerah-daerah perbatasan. Keluhan yang banyak disampaikan antara lain tidak memiliki smartphone atau komputer untuk mengakses pembelajaran dari sekolah. Selain itu, ada banyak keluarga yang tidak mampu membeli kuota internet untuk online. Kalaupun ada, mereka tidak bisa memakainya setiap hari karena keterbatasan budget," kata Saleh.
Bayangkan kalau anak yang sekolah 3 atau 4 orang di satu keluarga, berarti orang tuanya harus membeli 3-4 alat smartphone atau komputer. Kuota internet yang dibutuhkan pun akan lebih besar. Belum lagi saat belajar, ketika anak yang satu minta dibantu, anak yang lainnya sudah memanggil ibunya untuk mengerjakan hal lain.
Dan perlu diingat, sambung pria asal daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara II ini, tidak semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu semuanya dapat dipahami oleh orang tua murid. Selain itu, ada banyak PR yang harus dikerjakan. Praktis, dengan pola belajar seperti ini, orang tua siswa dipastikan akan menghabiskan waktu untuk mengurus pelajaran-pelajaran anak-anaknya.
"Padahal, urusan rumah tangga bukan hanya soal sekolah, tetapi ada banyak hal lain yang mungkin lebih kompleks. Bagi yang punya smartphone dan komputer, sering juga disalahgunakan anak-anak. Di sela-sela proses belajar mengajar itu, mereka juga bermain game. Kalau dulu orang tua dinasihati untuk tidak memberi smartphone pada anak, sekarang ini orang tua malah dituntut untuk menyiapkannya. Ini sangat dilematis dan perlu dicarikan solusinya," seru Anggota F-PAN DPR ini.
Dilanjutkan Saleh, anak-anak yang belajar di rumah sering sekali kurang tertib. Sebab, aturan yang selama ini diberlakukan di sekolah, tidak semuanya bisa dilaksanakan di rumah. Tidak jarang, anak-anak banyak yang belajar tidak fokus. Pelajaran olahraga juga begitu. Kalau di sekolah, siswa-siswi bisa langsung berolahraga di lapangan. Guru langsung mengajari murid. Sekarang ini, olahraga tersebut tentu akan sulit diterapkan
Lalu, sambungnya lagi, ada banyak pelajaran yang memerlukan praktikum dan praktik lapangan. Misalnya, pelajaran biologi, kimia, dan fisika. Pelajaran-pelajaran tersebut sering sekali harus dengan praktikum. Dengan belajar jarak jauh, praktikum itu akan terkendala. Sementara di sisi lain uang SPP juga tetap harus dibayar.
"Walaupun pola belajar mengajarnya seperti yang dijelaskan di atas, namun demikian tidak berpengaruh pada pembayaran SPP. Terutama anak-anak yang belajar di sekolah swasta. Biaya yang dikeluarkan tetap sama. Padahal, proses belajar mengajar yang dilakukan sebagian besar sudah menjadi tanggung jawab orangtua. Ini kan tentu tidak adil bagi para orang tua siswa," tutup Anggota Komisi IX DPR ini.
KEYWORD :Warta DPR Komisi X DPR Mendikbud Pendidikan