Ketua Komisi VI DPR dari F-PKB, Faisol Riza
Jakarta, Jurnas.com - Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan 54 persen warga tidak setuju dengan anggapan bahwa kehadiran pengusaha asing membawa dampak positif bagi ekonomi Indonesia.
Dalam survei itu dikatakan, ada 54 persen warga yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Sedangkan yang setuju hanya 37 persen, dan 9 persen lainnya tidak menjawab. Survei melibatkan 1.203 responden yang terpilih secara acak dan diwawancara melalui telepon pada 29 Juli-1 Agustus 2020, dengan tingkat kesalahan 2,9 persen.
"Sentimen terhadap investor dari Jepang lebih positif ketimbang Malaysia dan China yakni 41 persen berbanding 33 persen dan 30 persen yang setuju investasi," ujar Manajer Program SMRC Saidiman Ahmad.
Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Faisol Riza menilai hasil survei dari SMRC itu adalah hal yang sudah bisa ditebak sejak awal.
Menurut Riza, survei itu menggambarkan bahwa ada informasi yang tidak lengkap diterima masyarakat tenang investasi asing yang masuk ke Indonesia.
"Ini poin penting. Bahwa masyarakat Indonesia memiliki persepsi terbatas karena ketidaklengkapan informasi tentang investasi asing yang mereka terima," jelas Faizol Riza saat menjadi pembicara dalam pemaparan hasil survei SMRC, Minggu (9/8/2020).
Faisol Riza yang merupakan aktivis 1998 mengingatkan, banyak sekali pemberitaan yang muncul tentang tenaga kerja asing dari China masuk ke Sulawesi Tengah atau Sulawesi Tenggara.
Diberitakan bahwa mereka berbondong-bondong datang, sementara semua menyaksikan masyarakat Indonesia sedang mengkarantina diri dalam kebijakan PSBB, tidak bekerja, tapi ternyata ada berita banyak TKA China malah datang ke Indonesia.
Informasi terbatas ini, tegas Riza, menyebabkan persepsi masyarakat terhadap investasi asing menjadi sangat mencolok, seperti dalam survei SMRC ini. Apalagi survei itu juga menyebut perbandingan investasi dari tiga negara, yakni China, Jepang, dan Malaysia.
"Saya kira tak terlalu mengejutkan, khusus mengenai investasi China. Cukup jelas mereka memiliki persepai itu," ungkapnya.
Tapi yang menarik, jelas Riza, kalau berkaca pada kuartal-I dan kuartal-II tentang investasi asing, justru yang paling besar masuk ke Indonesia bukan dari China, tapi dari Singapura, sekalipun latar belakang perusahaannya dari negara-negara lain.
"Singapura perannya sangat besar, karena mengisi 40 persen ruang investasi di Indonesia dan tumbuh 58 persen YoY. Kalau 2019 sebesar USD 1,72 miliar, pada kuartal-I 2020 menjadi USD 2,7 miliar. Sedangkan investasi China adalah yang kedua sebesar USD 1,3 miliar, disusul Hongkong USD 0,6 miliar, Jepang USD 06 miliar, Malaysia USD 0,5 miliar," paparnya.
Data ini, kata Riza, cukup memberikan ilustrasi bahwa ada ketidakseimbangan informasi yang diterima masyarakat tentang investasi asing.
Ketidakseimbangan itu, lanjutnya, semakin terlihat karena investasi dari China yang disampaikan ke publik hanya menggambarkan salah satu sektor yang dalam hierarki struktur investasi ada di bagian paling bawah, yakni sektor logam dasar.
"Nilai inevestasi di sektor logam dasar atau barang-barang logam tambang itu sebesar USD 285,9 juta. Sementara yang besar seperti sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi itu mencapai USD 431,9 juta; Liatrik, gas, dan air USD 333,1 juta; Pangan, perkebunan, peternakan USD 338,6 juta. Bahkan perumahan dan kawasan indusri masih di atas logam dasar tadi," ungkapnya.
Karena itu, Faisol Riza mengingatkan bahwa ada pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Yakni terkait investasi, dan kedua soal UU cipta kerja.
Sebagai contoh, kata Riza, keterbatasan informasi mengenai UU investasi dan copta kerja. Apakah investasi di Indonesia tidak mencipakan peluang kerja?
Kalau mau objektif berdasarkan informasi di Komisi VI DPR, ada cukup besar jumlah tenaga kerja yang di rekrut melalui investasi.
Misalnya pada Kuaral-I 2020 tenaga kerja yang diserap sebanyak 3.385 orang, naik 28,75 persen dibanding kuaral-I 2019 sebesar 235,401 orang.
"Menurut saya ini sebagai informasi, mestinya pemerintah sampaikan. Sehingga masyarakat tidak menerima informasi yang terbatas," paparnya.
Ia menegaskan, di saat dunia menghadapi ancana covid saja, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja Indonesia lumayan naik. Padahal semua bisa dengar dan saksikan dalam dua tahun terakhir ekonomi dunia mengalami perlambatan.
Memang, kondisi menjadi lebih buram di kuaral-II 2020 karena kontraksi ekonomi Indonesia semakin dalam, yakni sekitar 5,32 persen sebagaimana data BPS.
Bahkan, jelas Riza, kondisi saat ini berbanding terbalik dengan krisis 1998. Sebab situasi sekarang bukan hanya dialami korporasi besar tapi juga sampai UMKM.
Makanya, Pemerintah menyediakan program restruksturisasi kredik UMKM. Hanya saja, masalahnya tak cukup hanya restruktirisasi, karena UMKM sudah tak bisa produktif dan tidak menghasilkan apa-apa.
"Apalagi membayar kredit, bahkan untuk jalankan usaha saja sangat berat. Maka mau tak mau harus ada jalan lain yang pemerintah harus siapkan. Itu pun sudah menggunakan segala instrumen," terangnya.
Sebagai contoh, pada kuaral-I 2020 terbit Perppu tentang pemulihan ekonomi nasional yang memberikan kewenangan besar pada Kementerian Keuangan, Gubernur BI, Komisioner OJK dan LPS untuk mengambil langkah startegis, walaupun ini tidak jalan dengan hasil memuaskan. Pemerintah lahirkan komite pemulihan ekonomi yang juga masih ditunggu hasilnya.
Menurut Riza, problem terkait kontraksi ekonomi Indonesia ini sebenarnya ada dua.
Pertama, Daya beli masyaakat yang rendah. Kedua, penyerapan belanja pemerintah sangat rendah.
Terkait daya beli masyarakat, konsumsi rumah tangga telah dibantu dengan BLT namun perlu dinaikkan. Kemudian Bansos kedepan sebaiknya ditambah dan dijadikan BLT.
Adapun soal penyerapan belanja pemerintah yang sangat rendah, Riza memaparkan data bahwa penyerapan sektor kesehatan saja baru 1,54 persen. Perlindungan Sosial (28,63 persen), insentif perusahaan (6,8 persen) UMKM (0,06 persen).
"Apa artinya? Bahwa pemerintah sendiri pun mengerem proses belanja di semua sektor. Kalau ini terjadi terus, maka kuartal-III akan kontraksi semakin dalam," jelas Riza.
Ia menilai, resesi ekonomi yang terjadi di singapura, Hongkong dan di negara-negara Eropa, bukan tak mungkin juga terjadi di Indonesia. Sekalipun, kalau kita bersosialisasi seriap hari, melihat kehidupan ekonomi mulai jalan, dan UMKM mulai jalan lagi, Indonesia ada harapan untuk membaik," jelasnya.
"Di kuaral-II dengan PSBB yang ketat kita saksika kontraksi ekonomi 53,2 persen. Dengan adanya pelonggaran PSBB, denyut nadi pasar mulai buka, pedagang mulai berjualan, konsumsi sudah ada, maka kita harap kontraksi ekonomi bisa berkurang," ungkap Faizol Riza optimis.
Faisol Riza Investasi SMRC