Minggu, 24/11/2024 21:01 WIB

Mulyati, Dikucilkan hingga Nyaris Putus Sekolah karena Kusta

Perempuan 19 tahun berjalan keluar masuk gang yang luasnya kurang dari dua meter. Tangannya menenteng sebuah kotak plastik berisi penuh dengan telur asin.

Sri Mulyati (kiri) bersama sang suami dan dua anak kembarnya (Foto: Muti/Jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com - Perempuan 23 tahun berjalan keluar masuk gang yang luasnya kurang dari dua meter. Tangannya menenteng sebuah kotak plastik berisi penuh dengan telur asin.

Sri Mulyati, namanya. Setiap hari dia berjalan di sudut-sudut Desa Rancabango, Kecamatan Patokbeusi, Subang, Jawa Barat, untuk menjajakan telur asin yang diambilnya dari seorang pengepul.

Saban pukul 8 pagi, Mulyati mulai berkeliling menjual telur asin, melewati barisan rumah yang berjajar di sepanjang jalan. Tak lupa, Mulyati mencium dua bayi kembarnya yang menanti kepulangannya pukul 2 siang nanti.

"Harganya Rp3.000 per endog (telur, Red). Biasanya per hari bisa dapat sampai Rp180.000," kata Mulyati kepada Jurnas.com saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.

Melihat kerja kerasnya itu, tak banyak orang menyangka bahwa Mulyati pernah menderita kusta. Penyakit itu menghampirinya pada 2011 silam, ketika Mulyati masih duduk di bangku kelas 2 SMP.

Usia Mulyati saat itu masih 13 tahun. Sebagian tubuh dan wajahnya mulai menghitam sebagai efek dari penyakit tersebut. Belum lagi badannya terasa sakit, demam, hingga linu di persendian.

Perubahan pada fisik juga berdampak pada mental Mulyati. Semakin hari, dia semakin minder datang ke sekolah. Tak cuma sebagian wajahnya yang mulai menghitam, di tangannya juga banyak bermunculan bentol. Rambutnya rontok. Mulyati depresi.

Kondisi ini yang menyebabkan Mulyati untuk sementara waktu untuk tidak bersekolah. Kata Mulyati, guru di sekolah memintanya untuk fokus menjalani pengobatan di rumah. Mulyati setuju.

"Disuruh berhenti sama guru, disuruh belajar di rumah. Karena sering pingsan di sekolah. Akhirnya dibilang, ya sudah belajar di rumah kecuali kalau ujian baru masuk (ke sekolah)," tutur Mulyati.

"Sejujurnya waktu itu juga takut banget dan was-was. Takutnya enggak ada umur (mati, Red) aja gitu," sambung dia.

Di saat rumah dan lingkungan umumnya menjadi surga bermain bagi anak, namun tidak bagi Mulyati saat itu. Sejak dinyatakan kusta, dia dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya, dengan anggapan kusta sebagai penyakit yang sangat menular.

"Di rumah saya enggak berani keluar. Tetangga bilang kalau penyakit kusta itu menular. Malah ada yang bilang kalau kena kusta jangan ditemenin. Ya sudah akhirnya saya di rumah aja," ucap Mulyati.

Butuh satu tahun bagi Mulyati untuk menjalani pengobatan kusta. Dan selama setahun itu pula, dia dituntut minum obat setiap hari. Bahkan jika lupa, badannya akan terasa kesakitan.

Singkat cerita, tubuh Mulyati berangsur membaik setahun kemudian. Dia juga sudah bisa kembali ke sekolah dan berhasil melanjutkan hingga ujian kelulusan.

Selepas dari jenjang SMP, Mulyati memilih bekerja. Sebagai orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), Mulyati mengakui tak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri. Hingga akhirnya dia menikah pada 2020 lalu dan memiliki anak kembar dari hasil pernikahannya.

Dengan status OYPMK itu pula, Mulyati kini mulai aktif memberikan motivasi dan edukasi terkait penyakit kusta di Desa Rancabango. Baginya, angka kusta di desanya bisa ditekan apabila dilakukan langkah pencegahan dan pengobatan sesegera mungkin.

"Yang penting mau berobat. Makanannya harus dijaga. Juga, perawatan diri," terang perempuan kelahiran 1998 itu.

Kepala Subbagian Tata Usaha Puskesmas Rancabango, Taufik Rahman dalam kesempatan yang sama menerangkan bahwa kusta bukan penyakit yang harus ditakuti. Meski menular, kusta masuk kategori paling kecil potensi penularannya.

Pun jika tertular, lanjut Taufik, kusta berpeluang besar sembuh asalkan rutin menjalani pengobatan. Sebab bagi pasien kusta, pantang melewatkan minum obat barang seharipun. Untuk durasi pengobatan beraneka ragam, mulai dari enam bulan hingga satu tahun.

"Penularannya bisa melalui kontak fisik, entah itu karena serumah atau tidur sekamar. Atau bisa juga melalui droplet," papar dia.

Sementara itu, Technical Advisor NLR Indonesia untuk wilayah Jawa Barat, Dr. Udeng Daman menyebut pihaknya senantiasa mendukung upaya penanggulangan kusta di Indonesia, termasuk di Kabupaten Subang, yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun terakhir.

Menjalin kerja sama dengan dinas kesehatan provinsi, kabupaten, dan puskesmas, NLR Indonesia berkomitmen menekan angka kusta melalui peningkatan kapasitas petugas dalam tata laksana, termasuk pemberian obat pencegah kusta, sosialisasi tentang kusta, dan pengurangan stigma terhadap orang yang pernah mengalami kusta.

"Kami berharap dapat membantu Kabupaten Subang mencapai eliminasi kusta pada 2024 menuju Zero Leprosy," tandas dia.

KEYWORD :

Penyakit Kusta Sri Mulyati Disabilitas Putus Sekolah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :