| Senin, 28/11/2016 13:43 WIB
Ilustrasi Korupsi (Istimewa)
Jakarta - Krisna Murti, pengacara Kepala Subdit Bukti Permulaan di Direktorat Penegakan Hukum dari Direktorat Jenderal Pajak, Handang Soekarno klaim jika kliennya tak pernah melakukan pemerasan terhadap Presiden Direktur (Presdir) PT E.K Prima Ekspor Indonesia, Rajesh Rajmohanan Nair.
"Pak Handang mengatakan dia tidak pernah meminta apapun kepada pengusaha," ucap Krisna di kantor KPK, Senin, (28/11).
Sebaliknya, kata Krisna, pengusaha Rajesh yang terus menerus menawarkan hadiah kepada kepada kliennya. Hadiah itu terkait pengurusan pajak PT E.K Prima Ekspor Indonesia.
"Pak Handang mengatakan, dia tidak mau membantu hal ini sampai diimingi-imingi sampai beberapa kali pertemuan dan pertemuan kurang lebih 5 kali. pak handang bilang lima kali dan terjadi satu hotel besar diundang makan malam dan disitu ditawarkan dengan kompensdasi 10 persen," ungkap dia.
Menurut Krisna sangat keliru jika kliennya disebut melakukan pemerasan. Pasalnya, kata Krisna, jumlah uang yang diberikan Rajesh di bawah angka yang seharusnya dibayar kepada Direktorat Jenderal Pajak senilai Rp 78 miliar.
"Kalau memang diperas ya kewajibannya itu harus lebih tinggi dari nilainya. Misal, kewajiban dia dihitung dengan denda Rp 50 miliar ditambah sekian miliar jadi Rp 78 miliar. Nah, kalau misal klien saya mengatakan itu lebih dari Rp 78 miliar, itu baru terjadi pemerasan," terang Krisna.
Dikatakan Krisna, Rajesh sudah mengajukan untuk ikut tax amnesty atau pengampunan pajak. Namun, klaim Krisna, atasan perusahaan Rajesh yang menginduk pada Lulu Group di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab tak memperbolehkan ikut tax amnesty.
"Rajesh, dia mau ikut tax amnesty, tax amnesty itu tidak diperbolehkan pimpinannya. Kalau menurut Pak Handang, melihat daripada peraturan yang ada, harusnya Rajesh boleh ikuti tax amnesty, tapi kenapa pimpinannya itu bilang tidak boleh," ujar dia.
Handang sendiri, kata Krisna, telah melakukan penelahaan terhadap PT EK Prima Ekspor Indonesia. Dari penelaahan tersebut belum dilakukan penyelidikan terhadap kewajiban pajak perusahaan Rajesh tersebut.
Dikatakan Krisna, berdasarkan peraturan yang ada, pengusaha yang tidak boleh ikut tax amnesty jika sudah dilakukan penyelidikan atau bukti permulaan soal kewajiban pajak. Namun, merujuk pengakuan Handang, PT EK Prima Ekspor Indonesia belum dilakukan penyelidikan.
"Setelah ditelaah dan dilihat, belum sama sekali dilakukan penyelidikan oleh Pak Handang. Belum pernah dilakukan bukti permulaan. Kalau sudah dilakukan bukti permulaan, maka tidak boleh dilakukan tax amnesty. Ini belum dilakukan bukti permulaan, tapi sudah tidak boleh oleh pimpinannya," tutur Krisna.
Atas persoalan pajak itu, diakui Krisna, akhirnya kliennya membantu pengusaha Rajesh. Atas jasnya, Handang menerima hadiah dari Rajesh.
"Akhirnya pak Handang kapasitasnya sbagai bawahan, prajuritlah untuk bantu masalah ini, dia bantu. Berapa pun jumlahnya pak Handang tidak pernah sebut. bahwa pak Handang bilang, hari ini ya lu mesti kasi gw Rp 2 miliar, tiga 3 miliar, tidak pernah ada. isi dari bungkusan itu juga tidak tahu jumlahnya. Tidak ada pak handang meyebutkan di sini harus dikasi sekian minta sekian, enggak ada. Mohan ada sebutin pak ada ucapan terimakasih. gitu loh, ada ucapan terimakasih saya kepada pak Handang apa yang sudah saya janjikan kepada pak Handang tolong datang ke rumah saya, tapi pak handang tidka pernah sebutkan," tandas Krisna.
KPK sebelumnya sudah menjerat Rajesh dan Handang sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan praktik suap untuk menghapus tanggungan pajak PT E.K Prima Ekspor Indonesia sebesar Rp 78 miliar.
Atas perbuatannya, Handang sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sedang, Rajesh selaku pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil operasi tangkap tangak (OTT) yang dilakukan KPK pada Senin 21 November 2016 malam di Springhill Kemayoran, Jakarta Pusat. Selain keduanya, ada pihak lain yang turut diamankan KPK dalam OTT itu, termasuk barang bukti berupa uang US$ 148.500.
KEYWORD :
Kasus Pajak Handang Soekarno