Kamis, 21/11/2024 18:22 WIB

Mendorong Pemahaman Moderasi Beragama lewat Pendidikan

Rektor UMI Basri Modding, mengatakan moderasi beragama dan toleransi keberagaman sangat penting untuk membangun kebangsaan dan kemanusiaan. Sumpah Pemuda menjadi dasar bersama bagaimana moderasi beragama diterapkan oleh bangsa Indonesia.

Ilustrasi toleransi dan moderasi beragama (Foto: Pixabay)

Jakarta, Jurnas.com – Moderasi beragama semakin menghadapi tantangan signifikan dengan munculnya paham intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme di tengah masyarakat. Itu sebabnya diperlukan upaya bersama untuk memperkuat pemahaman agama yang moderat termasuk lewat pendidikan di kampus.

Hal tersebut menjadi intisari dari Webinar Internasional Memperingati Hari Sumpah Pemuda hasil kerja sama Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Institut Leimena dengan tema `Moderasi Beragama dan Toleransi Keberagaman Melalui Pesantren Mahasiswa: Membangun Kebangsaan dan Kemanusiaan Melalui Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB)` yang digelar pada Kamis (28/10).

Rektor UMI Basri Modding, mengatakan moderasi beragama dan toleransi keberagaman sangat penting untuk membangun kebangsaan dan kemanusiaan. Sumpah Pemuda menjadi dasar bersama bagaimana moderasi beragama diterapkan oleh bangsa Indonesia.

"Moderasi beragama adalah cara pandang, memahami dan mengamalkan ajaran agama agar melaksanakannya selalu dalam jalur moderat, seimbang. Moderat artinya tidak berlebihan, tidak ekstrem," kata Basri dalam sambutannya.

Basri menjelaskan moderasi beragama bertujuan mewujudkan ketertiban dalam masyarakat, melindungi hak-hak pemeluk agama, serta mewujudkan ketentraman dan kedamaian untuk kesejahteraan umat beragama.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan nama Institut Leimena dipakai untuk mengenang pahlawan nasional Dr. Johannes Leimena, yang hampir 100 tahun lalu pada usia 23 tahun menjadi anggota panitia kongres pemuda yang melahirkan keputusan pada tanggal 28 Oktober 1928 selanjutnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Matius menambahkan para pemuda pemudi saat itu datang mewakili berbagai organisasi dari beragam suku dan agama, tetapi mampu mendeklarasikan impian bersama untuk mereka perjuangkan, yaitu Tanah Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia, yang semuanya belum ada saat itu.

"Saya yakin mereka dapat bermimpi bersama bukan ‘terlepas’ dari agama kepercayaan masing-masing, tetapi justru karena penghayatan agama dan kepercayaan mereka, dan dialog di antara mereka yang berbeda, sehingga dapat menemukan titik-titik temu perjuangan bersama, tanpa harus meninggalkan atau mencampuradukkan ajaran agama masing-masing," ujar Matius.

Sementara itu, Muhammad Suaib Tahir selaku staf ahli pada Satgas Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut mengatakan radikalisme, intoleransi, dan ekstrimisme harus dihadapi dengan penyebaran narasi damai dan moderat di tengah masyarakat.

Menurutnya, sejumlah isu yang selalu diangkat oleh kelompok berpandangan ekstrem atau radikal yaitu persoalan terkait iman dimana orang yang berbeda selalu dianggap kurang iman. Selain itu, kelompok radikal atau ekstrem mendukung khilafah yang melanggar konsensus bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Terakhir, munculnya paham takfiri atau mudah mengkafirkan orang lain.

"Diskusi moderasi beragama sangat penting terutama menjelaskan kepada masyarakat bahwa karakteristik moderasi beragama itu inklusif, bukan eksklusif. Dalam moderasi beragama, kita harus menjelaskan bagaimana Islam bersikap akomodatif bukan konfrontatif," jelas Suaib.

KEYWORD :

Institut Leimena Moderasi Beragama Universitas Muslim Indonesia Intoleransi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :