Prosesi pembersihan dan pensucian keris pusaka Kerajaan Mamuju yang biasa dikenal dengan tradisi Masossor Manurung yang dilakukan oleh pemangku adat setempat | foto: humas.majenekab
Jakarta, Jurnas.com - Secara kultural, ide moderasi beragama sudah tertanam dalam warisan leluhur yang memberi arah untuk saling memahami dan memiliki rasa toleran kepada sesama yang berbeda keyakinan. Moderasi agama adalah beragama secara moderat dengan menoleransi keberagaman keyakinan.
Warisan leluhur tersebut tercermin pada kearifan lokal. Kearifan lokal mempunyai nilai-nilai luhur yang menjadi alat pemersatu masyarakat dan menjadi perekat keberagaman di Indonesia. Kearifan lokal juga dapat membangun moderasi beragama di Indonesia, salah satunya dapat dilihat di Indonesia Timur.
Sebuah penelitian yang dilakukan Balai Litbang Agama (BLA) Makassar pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2020, menemukan sejumlah kearifan lokal masyarakat dalam membangun moderasi beragama.
Kearifan lokal dari wilayah Indonesia bagian timur ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kearifan lokal yang mengandung nilai diantaranya; Bobahasaan Mongondow dan Pesona Bibir Manado (Menggali Potensi Moderasi Beragama Melalui Penghayatan Kearifan Berbahasa). Dari Luwu Utara Sulawesi Selatan ada awata itaba awai assanggoattal yang artinya dari kitalah datangnya (setiap individu adalah sumber persatuan).
Di Tongkonan Tanah Toraja Sulawesi Selatan, kearifan lokalnya disebut nilai-nilai moderasi karapasan atau musyawarah.
Lalu, kearifan lokal Suku Morenene Rumbia Bombana, Sulawesi Tenggara, yakni kohala atau denda adat aksentuasi dalam membangun moderasi beragama.
Kearifan lokal sintuwu marosol atau hidup bersama dan simbol moderasi beragama di Poso, Sulawesi Tengah.
Ada pula moderasi beragama masyarakat Kei, Provinsi Maluku dengan ritual belian nondoi/taring yang menyembuhkan, yang merupakan ritual rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, kearifan lokal yang mengandung norma, diantaranya moderasi beragama dalam hukum adat di Ternate.
Ketiga, kearifan lokal yang bersifat praktis, diantaranya legenda sebagai pewarisan nilai fatanon, faradel, fanem (saling lihat, saling saudara, dan saling teman). Masossor manurung atau penajaman keris sakti yang berarti penajaman memori persaudaraan.
Menurut para peneliti, efektivitas kearifan lokal dapat membangun iklim moderasi beragama. Kesadaran kultural masyarakat dalam membangun nuansa damai menyebabkan wilayah-wilayah konflik yang pernah terjadi telah timbul kesadaran baru bagi masyarakatnya.
Kearifan lokal mempunyai nilai-nilai luhur dari leluhur mereka yang kembali menjadi alat dari pemersatu antarsesama masyarakat yang selama ini sudah berjalan efektif. Seperti wilayah Pamona Poso, sebagai atrikulasi dari daerah konflik tersebut.
Strategi yang digunakan oleh masyarakat untuk mengkonservasi dan mentransmisi nilai kearifan lokal, yaitu strategi yang selama ini hanyalah bersifat konvensional. Misalnya, melalui seremonial, tuturan, ritual, dan ada keterlibatan Pemda untuk memeliharanya melalui festival yang yang bersifat seremonial.
Dalam penelitian ini, para peneliti menemukan kelemahan dari kelompok penganut kearifan lokal yakni tak satu pun kelompok yang melirik media sosial untuk arena pewarisan nilai-nilai luhur ini.
Peneliti menyebutkan kearifan lokal yang bersifat festival akan lebih efektif jika dilakukan oleh Pemda kemudian diekspos melalui media sosial.
Dari temuan kearifan lokal dalam bentuk ritual maupun sastra yang mengandung nilai dan norma yang tumbuh subur di masyarakat. Menurut para peneliti, jiwa kearifan lokal yang telah dirajut secara indah oleh para leluhur mereka, menjadi pijakan untuk pengambilan kebijakan dan membangun suasana damai di tengah keragaman berbangsa dan bernegara.
Kearifan Lokal Mamuju Keris Pusaka