Kamis, 21/11/2024 16:34 WIB

Investigasi KPPU soal Izin dan HGU Sawit Harus Diikuti Penegakkan Hukum

Mansuetus menilai, investigasi KPPU perkuat fakta praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang terjadi pada sektor hulu maupun hilir industrisawit nasional.

Tumpukan kelapa sawit saat melakukan panen di salah satu perkebunan di Indonesia. (Foto istimewa)

Jakarta, Jurnas.com - Investigasi atau penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) soal penguasaan lahan atau kepemilikan izin dan HGU oleh korporasi besar yang melebihi batas maksimum merupakan persoalan yang akut di Indonesia, terutama di sektor perkebunan kelapa sawit.

Mansuetus Darto dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menjabarkan, persoalan ini telah berimbas pada masalah agraria di sektor perkebunan sawit, terjadi ketimpangan kepemilikan lahan, konflik serta penyingkiran masyarakat adat atas lahan mereka dan dalam hal petani tersingkir dalam rantai pasok CPO nasional akibat penguasaan lahan sawit dan aspek produksi lainnya dari korporasi besar.

"Ini bukan masalah sepele, dampaknya memiskinkan masyarakat dan petani di pedesaan. Bayangkan, jika pemberian izin dan HGU ini terus dilakukan, maka hutan dan lahan terutama dipedesaan akan terus hilang dari teritori desa dan ini akan berimbas pada masalah sosial, ekonomi dan lingkungan," kata Mansuetus, Kamis (1/6/2022).

Mansuetus menilai, investigasi KPPU perkuat fakta praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang terjadi pada sektor hulu maupun hilir industrisawit nasional.

Di sektor hulu misalnya, terjadi penguasaan lahan yang melebihi batas maksimum, praktik menguasai dan/atau memiliki lahan plasma oleh segelintir perusahaan besar yang juga “bermain” pada usaha di sektor hilir, da penyingkiran petani dalam rantai pasok CPO maupun Biodiesel akibat praktik monopoli yang menyimpang.

Permasalahan struktur pasar inilah yang seharusnya menjadi konsen Pemerintah dalam perbaikan tata kelola industri sawit nasional, karena dampaknya terlihat dalam dalam kasus kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu.

SPKS sebelum terjadinya kelangkaan minyak goreng berinisiasi mengajukan pelaporan kepada KPPU terkait dugaan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri sawit dan biodiesel.

"Harapan kami, pelaporan ini sebagai upaya untuk melakukan pembaharuan dan perbaikan dalam struktur pasar di industri sawit nasional, dan Pemerintah perlu mengevaluasi serta momentum yang tepat pasca kebijakan pelarangan sementara ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng," kata Mansuetus.

Mansuetus juga soroti batas maksimum luas lahan untuk usaha perkebunan sawit dengan pemberian HGU untuk perusahaan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang merupakan hasil peninjauan kembali terhadap Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.

Permentan 98/2013 ini memuat ketentuan tentang batasan luas lahan untuk usaha perkebunan. Dalam Pasal 17 ayat (1) menentukan bahwa Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUUP-B) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, untuk 1 (satu) Perusahaan atau Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan diberikan dengan batas paling luas berdasarkan jenis tanaman.

Lalu dalam Pasal 17 ayat (2) menentukan bahwa Izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), untuk 1 (satu) Perusahaan atau Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan diberikan dengan batas paling luas untuk tanaman kelapa sawit 100.000 hektar, teh 20.000 hektar dan tebu 150.000 hektar.

Pengecualiannya diatur dalam Pasal 17 ayat 3 yang menyebutkan bahwa batas paling luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi dan perusahaan perkebunan dengan status perseroan terbuka (go public) yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat. Pasal 17 ayat (4) menentukan batas luas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah dari izin usaha perkebunan untuk 1 (satu) jenis tanaman perkebunan.

"Jadi jelas, aturan mengenai batas luas maksimum lahan usaha perkebunan telah diatur secara jelas dan tegas dalam Permentan 98/2013," kata Mansuetus.

Oleh karena itu, sambungnya, tindak lanjut dari hasil investigasi maupun penelitian yang dilakukan KPPU seharusnya diikuti dengan proses penegakan hukumnya terutama oleh Pemerintah. Hal ini harus Pemerintah dukung dan tidak boleh kalah. Bukan lagi tentang pengawasan dan evaluasi.

Pengawasan dan evaluasi bukan tidak perlu dilakukan, tetapi sudah ada berbagai instrument kebijakan pemerintah yang mengevaluasi terkait izin dan HGU sebelumnya melalui moratorium sawit, moratorium gambut dan aturan perundangan lainnya.

Masyarakat sipil juga melaporkan berbagai masalah yang terjadi di lapangan.

"Nah hasil evaluasi itulah yang harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukumnya berdasarkan temuan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha," katanya.

Kalaupun Pemerintah kembali merencanakan audit untuk masalah yang sama terkait izin dan HGU maupun pembangunan kebun minimal 20% untuk masyarakat, maka hasil investigasi yang dilakukan KPPU maupun masyarakat sipil harus diakomodir dan diprioritaskan dalam penanganan dan penegakan hukumnya.

Jangan kemudian, agenda yang dilakukan pemerintah justru tidak melibatkan pihak-pihak yang selama ini konsen terhadap permasalahan yang ada di perkebunan sawit.

"Lalu, audit ini seharusnya tidak dibatasi hanya pada persoalan aspek legalitas saja, karena masalah di sektor hulu industri sawit nasional mencakup banyak aspek, terutama pada perkebunan sawit rakyat, yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mendukung sawit berkelanjutan," pungkas Mansuetus.

KEYWORD :

Kelapa Sawit KPPU Mansuetus Darto CPO Monopoli




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :