Gedung markas besar PBB difoto dengan logo PBB di wilayah Manhattan, New York City, New York, AS, 1 Maret 2022. (Foto: Reuters/Carlo Allegri)
JAKARTA, Jurnas.com - Organisasi Perburuhan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) mengatakan, jumlah orang yang terjebak dalam kerja paksa atau pernikahan paksa dan krisis lainnya membengkak dalam beberapa tahun terakhir. Angka tersebut meningkat seperlima menjadi sekitar 50 juta.
ILO mengatakan, studi badan-badan PBB untuk tenaga kerja dan migrasi bersama dengan Walk Free Foundation menemukan bahwa pada akhir tahun lalu, lebih dari setengah pekerja dipaksa bekerja di luar kemauan mereka dan sisanya dipaksa menikah. Itu Artinya, hampir satu dari setiap 150 orang di dunia terperangkap dalam bentuk perbudakan modern.
"Keduanya berada di bawah definisi perbudakan modern karena mereka melibatkan orang-orang yang tidak dapat menolak atau tidak dapat pergi karena ancaman, kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau bentuk paksaan lainnya," tambahnya.
PBB telah menetapkan tujuan untuk memberantas semua bentuk perbudakan modern pada tahun 2030, tetapi jumlah orang yang terjebak dalam kerja paksa atau pernikahan paksa membengkak sebesar 10 juta antara 2016 dan 2021, menurut sebuah laporan baru.
Situasi telah diperburuk pandemi COVID-19, yang memperburuk kondisi dan membengkaknya tingkat utang bagi banyak pekerja, serta konflik bersenjata dan perubahan iklim, membuat orang dalam kemiskinan ekstrem dan memaksa lebih banyak orang untuk bermigrasi, kata badan tersebut.
"Saya pikir, pada umumnya, kami hanya mengendurkan upaya kami. Kami telah mengalihkan perhatian kami dari pekerjaan paksa,” kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder kepada kantor berita Reuters, menyerukan perbaikan dalam praktik perekrutan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Ia mengatakan langkah-langkah perdagangan, seperti larangan produk dan impor yang dibuat dengan kerja paksa yang saat ini sedang ditinjau oleh Uni Eropa, juga dapat membantu.
Perbudakan modern pada dasarnya hadir di setiap negara, dengan lebih dari setengah kasus kerja paksa dan seperempat dari pernikahan paksa di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas atau berpenghasilan tinggi.
"Adalah kesalahan untuk percaya bahwa kerja paksa adalah semata-mata masalah negara-negara miskin," kata Ryder kepada kantor berita AFP.
ILO mengatakan, pekerja migran tiga kali lebih mungkin terkena dampak daripada penduduk lokal.
ILO juga mengatakan perempuan dan anak-anak adalah yang paling rentan. Anak-anak merupakan satu dari lima orang dalam kerja paksa, dengan lebih dari setengahnya terjebak dalam eksploitasi seksual komersial, laporan tersebut menjelaskan.
Namun laporan itu juga mengatakan 14 persen dari mereka yang bekerja paksa melakukan pekerjaan yang dipaksakan oleh otoritas negara, menyuarakan keprihatinan tentang penyalahgunaan kerja paksa penjara di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Ini juga menunjukkan keprihatinan serius yang diangkat oleh kantor hak asasi PBB tentang laporan yang dapat dipercaya tentang kerja paksa di bawah kondisi yang sangat keras di Korea Utara.
Laporan tersebut juga menyoroti situasi di China, menunjukkan kekhawatiran tentang tuduhan kerja paksa di beberapa bagian negara.
Kekhawatiran itu merujuk pada laporan yang dikeluarkan oleh kantor hak asasi manusia PBB pada 31 Agustus yang mengatakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius telah dilakukan di China dan bahwa penahanan warga Uighur dan Muslim lainnya di Xinjiang mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
China dengan keras membantah tuduhan itu dan bulan lalu meratifikasi dua konvensi menentang kerja paksa. "Ini berarti mereka akan mulai melaporkan situasi Uighur, dan itu akan memberi kita peluang baru untuk memiliki akses dan masuk lebih dalam ke situasi dalam hal itu," kata Ryder kepada AFP.
Ia mengakui bahwa diskusi tentang hak-hak buruh di Xinjiang adalah “bukan percakapan yang mudah … tapi jelas, itu sangat penting”.
KEYWORD :Perbudakan Modern PBB ILO Kerja Paksa Pernikahan Paksa