Penanaman mangrove di pesisir pantai. (Foto: Ist)
JAKARTA, Jurnas.com - Keterlibatan anak muda dalam penanganan dan pengendalian krisis iklim semakin mendesak. Perspektif dan kontribusi mereka perlu hadir dalam berbagai diskusi dan perumusan kebijakan, termasuk pada agenda antarpemerintah G20 yang tahun ini Indonesia memegang presidensinya.
Guna mendukung keterlibatan anak muda, Youth Virtual Conference (YVC) 2022, kembali digelar mulai September sampai Oktober 2022. Acara kali ini digelar menjelang pertemuan Civil 20 (C20) di Bali pada awal Oktober 2022, di mana YVC tahun ini melibatkan lebih dari 250 mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia.
Rangkaian kegiatan yang diagendakan adalah bootcamp dan virtual conference untuk menghasilkan manifesto yang akan dibawa pada saat town hall meeting, sebuah forum di mana perwakilan partisipan YVC akan berbicara dengan seorang menteri.
Para anak muda diajak untuk mengenal berbagai permasalahan di lingkungan sekelilingnya, termasuk pelestarian hutan dan ekologi, ekonomi hijau dan energi bersih terbarukan.
Dalam forum YVC, sejumlah pakar lingkungan terlibat untuk memberikan motivasi dan berbagi pengalaman pada anak muda mengenai peran apa saja yang dapat dilakukan anak muda dalam berkontribusi untuk aksi iklim.
Berbicara di hadapan 50 orang mahasiswa terpilih yang telah lolos dalam seleksi penulisan esai YVC 2022, Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Rakyat Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uslaini Chaus berbagi pengalaman tentang bagaimana pentingnya keterlibatan kelompok pemuda dalam melakukan tindakan nyata untuk pelestarian alam dan hutan.
Ia menyebutkan, WALHI telah melakukan inisiatif Green Student Movement (GSM) sejak 2000-an. GSM ini berupa kegiatan berkunjung ke berbagai lembaga pendidikan serta organisasi kemahasiswaan, dengan target mengedukasi para pelajar agar tidak hanya memahami isu lingkungan, tapi juga tergerak melakukan aksi mitigasi krisis iklim di lingkungannya masing-masing.
Uslani mengatakan, dari 28 provinsi di mana WALHI beroperasi, ada sekitar 15 kantor eksekutif daerah yang mengembangkan pusat pelatihan berupa rumah atau pondok belajar, sebagai tempat untuk anak-anak muda berdiskusi, menguji coba teori-teori yang didapatkan di sekolah dan kampus untuk menjawab permasalahan terkait krisis lingkungan.
"Saat ini, WALHI sedang menyiapkan sebuah Akademi Ekologi dengan tujuan untuk mendidik orang muda di Indonesia memahami persoalan lingkungan, HAM dan krisis iklim. Harapannya, semakin banyak orang muda bersuara dan mengambil tindakan untuk keadilan ekologis dan keadilan iklim di Indonesia," ujarnya.
Alvi Muldani, dokter dan juga Konsultan pada Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) yang mempunyai perhatian pada isu hutan dan alam, mengatakan anak muda dapat berkontribusi dan terlibat pada pemberdayaan masyarakat untuk menjaga hutan. Menurutnya, dua cara untuk memerangi climate change yaitu mengurangi produksi karbondioksida atau menambah penyerapannya.
"ASRI dalam kegiatan reforestasi, mengajak para mahasiswa untuk terjun langsung ke masyarakat dan terlibat dalam kegiatan kehutanan dengan menanam pohon," ujarnya dalam Konferensi YVC 2022, Minggu (18/9).
"Target global adalah mempertahankan kenaikan suhu tidak lebih dari 1,50. Ini merupakan target bersama, sehingga kita semua harus terlibat dalam menjaga hutan. Jika iklim sudah berubah, maka tidak bisa dikembalikan lagi," tambahnya.
Di sisi pemanfaatkan sumber daya alam, pemahaman bisnis berkelanjutan perlu dipahami oleh anak muda. Partner Equatora Capital/Supernova Ecosystem, Inez Stefanie menegaskan, Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan lensa dan kerangka kerja yang seyogyanya digunakan pelaku bisnis dalam mengembangkan bisnisnya.
SDGs adalah rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, untuk mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan melindungi lingkungan, berisi 17 tujuan dan 169 target yang harus dicapai pada 2030.
Lantas bagaimana anak muda bisa melakukan bisnis yang berkelanjutan? Inez menyebutkan pemikiran John Elkington, salah satu pelopor gerakan keberlanjutan global, di mana ia memperkenalkan konsep Green Swans atau Angsa Hijau yang menekankan perubahan paradigma bahwa bisnis tidak semata untuk cuan.
Dalam berbisnis, misalnya, tidak boleh merampas sumber daya dan masa depan masyarakat untuk kepentingan hari ini saja. Aspek pekerja pun harus diperhatikan, seperti upah yang adil, hingga memberikan peluang bagi pekerja untuk mengasah keterampilan.
"Sekecil apa pun kontribusi yang kita harapkan, sebenarnya kita merupakan bagian dari picture yang lebih besar, atau karena kita hidup di bumi kita ini," ujar Inez.
Hal senada juga disampaikan oleh Benedikta Atika dari Impact Investment Lead, ANGIN bahwa bisnis ke depan harus memberikan dampak pada lingkungan alam dan lingkungan sosial. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui kerangka ekonomi hijau dan bisnis berkelanjutan.
"Banyak hal yang dapat dilakukan oleh anak muda dalam berkontribusi untuk ekonomi hijau dan bisnis berkelanjutan misalnya sebagai produsen atau start-up atau pelaku bisnis yang mengembangkan komoditas hijau, sebagai profesional yang bergerak dan mendukung di isu lingkungan, seperti profesi peneliti ataupun sebagai konsumen," ujarnya.
"Hal sederhana yang dapat dilakukan anak muda sebagai konsumen, misalnya kesadaran untuk tidak menggunakan air atau energi yang berlebihan serta membeli produk-produk yang tidak merusak lingkungan," tambahnya.
Secara sektoral, anak muda bisa berkontribusi lebih lagi dalam pengembangan energi bersih dan terbarukan dengan mengurangi penggunaan energi fosil.
Kaum muda pertama dapat berkontribusi dengan mencari pengetahuan terbaru, mencari permasalahan dalam pengembangan energi bersih yang menarik minat, dan mulai menjadi bagian dari solusi dengan meningkatkan kesadaran orang-orang terdekat.
KEYWORD :Pakar Lingkungan Anak Muda Aksi Iklim WALHI Uslaini Chaus