Senin, 16/12/2024 06:06 WIB

Kementerian ESDM Luncurkan Peta Jalan Percepatan Implementasi Bioetanol

Kementerian ESDM luncurkan peta jalan percepatan implementasi Bioetanol

Prsiden Joko Widodo dalam Peluncuran Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol, hari ini, Rabu (7/12). (Foto istimewa/Jurnas)

Jakarta, Jurnas.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bersama tim riset Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan didukung oleh US Grains Council (USGC) telah berhasil menyusun Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol di Indonesia.

Kajian peta jalan yang mulai disusun sejak 2021, guna mendukung program implementasi penggunaan Bioetanol pada bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan mempersiapkan industri Bioetanol di Indonesia.

Presiden Jokowi November lalu telah meluncurkan program Bioetanol tebu, untuk mendukung ketahanan energi, saya ingin mengucapkan terima kasih atas inisiasi tim riset ITB untuk membuat kajian peta jalan percepatan implementasi Bioetanol.

"Semoga kolaborasi ini terus berjalan baik sehingga program bioetanol ini bisa sesuai harapan," ujar Direktur Bioenergi Edi Wibowo dalam sambutannya pada kegiatan Seminar Peluncuran Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol, hari ini, Rabu (7/12).

Kegiatan seminar ini merupakan forum diskusi dengan para pemangku kepentingan dan publik terkait penyusunan peta jalan serta potensi dari penggunaan bioetanol bagi Indonesia dari sisi lingkungan dan ekonomi.

Sebagaimana diketahui, pada 4 November 2022 lalu, Presiden Joko Widodo telah meluncurkan program Bioetanol, campuran etanol berbasis tebu untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) berjenis bensin.

Edi mengungkapkan, saat ini total produksi bioetanol fuel grade baru mencapai 40.000 KL per tahun, atau jauh di bawah kebutuhan 696.000 KL per tahun untuk pengimplementasian tahap awal di daerah Jawa Timur dan Jakarta.

"Pasokan yang tersedia dari PT Enero dan PT Molindo sebagai produsen bioetanol fuel grade baru dapat memasok sekitar 5.7% saja kebutuhan Jawa Timur dan Jakarta. Artinya dari sisi supply harus ditingkatkan," jelas Edi.

Pencampuran bioetanol sejatinya telah diujicobakan dengan kandungan 2% (E2) di Jawa Timur pada tahun 2018, namun hasil menunjukan harga BBM campuran bioetanol masih sedikit diatas harga BBM non-PSO. Namun, dengan meningkatnya harga BBM dan pentingnya upaya peningkatan ketahanan energi, re-introduksi BBM campuran bioetanol kembali menjadi isu strategis.

Pada kesempatan yang sama, pakar bioenergi ITB Prof. Tatang Hernas Soerawidjaja mengapresiasi langkah Presiden dan menyatakan campuran bioetanol dapat menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia.

Apabila kita mengambil contoh kesuksesan penggunaan substitusi impor diesel dengan program Biodiesel, maka kita juga dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar porsinya dibandingkan bahan bakar jenis diesel," kata Tatang.

Hasil riset ITB menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar US$2.6 milyar dari substitusi impor diesel melalui program Biodiesel kelapa sawit. Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021.

Bahwa penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.

Manfaat lain bioetanol juga adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.

Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM.

Meskipun bioetanol memiliki potensi besar, masih terdapat tantangan dalam pengimplementasiannya sebagai campuran bensin utamanya rendahnya produksi bioetanol di Indonesia. Laporan ITB juga menyarankan penyesuaian kebijakan untuk menghidupkan implementasi bioetanol di Indonesia.

Utamanya penetapan kebijakan harga, pajak, dan subsidi yang tepat sasaran, penerapan terbatas di Jawa Timur dan Jakarta sebagai tahap awal dan penyusunan Badan Layanan Umum (BLU) seperti BPDPKS untuk mengembangkan industri bioetanol.

Roadmap ITB mempersiapkan pengimplementasian bioetanol dengan target jangka pendek selama (3 tahun), menengah (5 tahun), dan panjang. Adapun target jangka-pendek dari roadmap dimulai dengan introduksi campuran 5% etanol atau E5 secara terbatas di provinsi DKI Jakarta dan Surabaya.

Campuran E5 etanol dapat dimasukan ke dalam BBM jenis Petralite sehingga kualitas RON meningkat setara Pertamax. "Nantinya hasil campuran ini akan menjadi produk Pertamax E-5," pungkas Tatang.

Pemerintah, sambung Tatang, disarankan membentuk Badan Layanan Umum khusus bioetanol seperti BPDBKS Sawit yang bertugas mempromosikan usaha dan meningkatkan sarana prasarana produksi bioetanol. Untuk memantik demand bioetanol domestik dan menarik investasi di sektor bioetanol, Indonesia juga dapat sementara mengimpor bioetanol sambil meningkatkan kapasitas produksi.

Riset ITB memperlihatkan bahwa produksi bioetanol berbasis gula sebesar 150 juta liter per tahun dapat menciptakan 83,000 tenaga kerja baik di perkebunan maupun di fasilitas produksi molase dan etanol.

Untuk jangka menengah, Pemerintah dapat meningkatkan blending bioetanol menjadi E10 dan mengekspansi program bioetanol ke wilayah Jawa sebagai wilayah pengguna BBM tertinggi. Dengan implementasi secara bertahap, diharapkan Indonesia dapat mengimplementasikan campuran bioetanol sebesar E-15 di seluruh wilayah pada tahun 2031.

KEYWORD :

ESDM Bioetanol BBM peta jalan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :