Sabtu, 23/11/2024 19:05 WIB

Strategi Bulog Serap Beras Petani Terhalang HPP

HPP yang seringkali berada di bawah harga pasar membuat petani enggan menjual berasnya ke Bulog.

Tampak seorang karyawan di Bulog menata beras (Foto: Ist)

JAKARTA, Jurnas.com - Penerapan Harga Pokok Penjualan (HPP) mengekang strategi Bulog dalam menyerap beras petani. HPP yang seringkali berada di bawah harga pasar membuat petani enggan menjual berasnya ke Bulog.

"Pemerintah perlu mengevaluasi besaran HPP dengan memperhatikan faktor-faktor dalam proses produksi dan distribusi. Dengan mempertimbangkan proses produksi yang belum efisien, harga gabah sudah terbilang mahal sejak awal. Selain masih belum efisiennya proses, panjangnya rantai pasok dan luasnya wilayah Indonesia juga perlu jadi pertimbangan," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran dalam keterangan resmi, Sabtu (11/2).

Terkait distribusi, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun lalu berdampak cukup signifikan terhadap harga pangan, termasuk beras. Selain itu, kenaikan harga gas juga berdampak pada harga pupuk. "Hal-hal seperti ini tentu mempengaruhi margin keuntungan yang didapat petani," tambahnya.

Hasran menambahkan, kecenderungan kenaikan harga beras saat ini juga disebabkan oleh pengaruh musiman, khususnya pola panen, dimana produksi turun di bawah kebutuhan konsumsi. Selama ini stok beras di gudang-gudang baik swasta maupun Bulog pasti habis. Momentum ini dimanfaatkan petani untuk menaikkan harga gabah dan beras di daerah.

Kemungkinan adanya praktik oligopolistik juga turut menyebabkan naiknya harga beras, di mana segelintir pedagang besar melakukan manipulasi harga saat stok beras nasional menipis. Mereka memiliki pengaruh keuangan serta kontrol atas stok dan distribusi beras di tingkat petani dan pabrik.

Karena beras merupakan komoditas dengan permintaan yang inelastis, konsumen akan terus membeli berapapun harga jualnya. Hal ini yang kemudian mendorong pedagang besar untuk menaikkan harga.

Saat ini, aturan HPP gabah/beras masih mengacu kepada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020, yang menetapkan harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp 4.200 per kilogram, GKP di tingkat penggilingan Rp 4.250 per kilogram, Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp 5.250 per kilogram dan Beras Medium di Gudang Bulog Rp 8.300 per kilogram.

Serapan beras yang memadai diperlukan sebagai bentuk antisipasi peningkatan permintaan jelang Bulan Ramadan dan idul Fitri.

Indeks Bulanan Rumah Tangga (Indeks Bu RT) CIPS menunjukkan, pada Januari 2023, harga rata-rata GKP di tingkat petani adalah Rp 5.837 per kilogram atau naik 16,52 persen, dan rata-rata harga GKP di tingkat pengupas Rp 5.973 per kilogram atau naik 16,72 persen dibandingkan harga padi mutu sejenis pada Januari 2022.

Sementara itu, rata-rata harga GKG di tingkat petani mencapai Rp 6.501 per kilogram atau naik 20,63 persen.

Hasran menambahkan, impor beras di waktu yang tepat dapat berpengaruh pada kestabilan harga beras di pasar. Harga akan relatif lebih stabil dan tidak mengalami lonjakan yang signifikan.

Panen yang sedang berlangsung pun harus dimaksimalkan dengan sebaik mungkin, terutama bagi daerah-daerah penghasil beras di Indonesia. Perlunya informasi yang jelas mengenai jumlah produksi beras masing-masing antara daerah satu dan lainnya karena tidak ada satupun daerah yang dapat memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri.

CIPS merekomendasikan beberapa hal terkait penanganan fluktuasi harga beras. Yang pertama adalah urgensi untuk memiliki data yang sama, akurat, dan pasti terkait jumlah produksi beras nasional, cadangan beras pemerintah (CBP), dan cadangan beras nasional. Hasran menekankan, data ini tidak boleh dimanipulasi supaya bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan yang terbaik.

Selanjutnya adalah, Badan Pangan Nasional, melalui Bulog, perlu mengoptimalkan serapan CBP antara Februari dan Juli 2023. Jumlah yang harus diserap mencapai 3 juta ton.  Setelah musim panen, pemerintah harus melepas berasnya secara bertahap ke pasar melalui operasi pasar.

Selain itu, pemerintah harus mempertimbangkan opsi impor dan kelayakan pembukaan jalur impor. Impor yang terlambat dilakukan pada 2022 lalu membuat harga beras sulit untuk dikendalikan.

Karena perbedaan antara kebijakan HET (Harga eceran tertinggi) dengan harga pasar riil sangat besar, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan HET. Jika pedagang kecil terpaksa menjual beras dengan harga HET, kemungkinan besar mereka akan merugi.

Beras CBP yang didistribusikan melalui operasi pasar kemungkinan dinikmati oleh perusahaan besar yang menjual kembali beras tersebut dengan harga yang lebih tinggi. Dalam hal ini, Bulog perlu merancang sistem distribusi yang lebih pendek, agar beras CBP dapat sampai ke pedagang grosir dan konsumen akhir dengan harga.

KEYWORD :

Harga Pokok Penjualan Perum Bulog Hasran Panen Raya




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :