Hendra Setiawan Boen, praktisi hukum kepailitan dan restrukturisasi hutang
Jakarta, Jurnas.com - Tiga bank terkemuka Amerika Serikat ditutup dan diambil alih pemerintah negara Paman Sam, menyusul memburuknya neraca keuangan dan ketidakmampuan membendung penarika dana besar-besaran oleh para deposan.
Tiga bank Amerika Serikat yang ditutup itu adalah: Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank. Para analis ekonomi pun menyebut penutupan tiga bank ini adalah peristiwa kebankrutan terbesar industri keuangan sejak krisis besar tahun 2007 – 2008.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah karena tiga bank yang ditutup ini dikenal sebagai pendukung kuat industri uang digital, serta pemberi pinjaman utama perusahaan-perusahaan rintisan.
Sesekali Bentrok soal Batas Laut Cina Selatan, Tiongkok-Vietnam Menandatangani 14 Kesepakatan
Tak ayal, ambruknya ketiga bank tersebut menimbulkan kekuatiran akan risiko merembet ke negara lain, sehingga menimbulkan stabilitas sistem keuangan global.
Apalagi, keruntuhan Silicon Valley Bank berdampak kepada perusahaan rintisan terutama apabila perusahaan modal ventura yang selama ini mendukung keuangan perusahaan rintisan menyimpan dana di bank tersebut.
Menanggapi hal ini, analis hukum kepailitan dan restrukturisasi utang, Hendra Setiawan Boen, menilai Indonesia tak perlu ikut-ikutan panik, karena kebangkrutan tiga bank Amerika Serikat tak akan berdampak signifikan bagi sektor keuangan Indonesia.
"Penutupan tiga bank besar di Amerika Serikat itu juga tidak akan sampai mengulang kembali krisis ekonomi seperti tahun 2007-2008," ujar Hendra Boen, praktisi hukum kepailitan dan restrukturisasi utang dari kantor Frans & Setiawan Law Office, Jakarta (14/3/2023).
Diduga Terkontaminasi, Hampir 12 Persen Rempah India Tidak Penuhi Standar Kualitas dan Keamanan
Hendra Boen menyebut sejumlah alasan kenapa Indonesia tak perlu panik.
Pertama, pemerintah Amerika Serikat telah bergerak cepat mengantisipasi dengan memastikan semua deposan akan dapat mengambil kembali uang merek.
"Karena sejak krisis subprime mortgage tahun 2007, pemerintah Amerika telah mencadangkan uang lebih dari USD 100 miliar sebagai jaring pengaman apabila terjadi peristiwa semacam ini,” terang Hendra.
Hendra menambahkan bahwa kejadian ini hanya berdampak besar kepada negara yang memiliki cabang dari tiga bank tersebut. Itupun pemerintah negara-negara tersebut segera melakukan upaya untuk memitigasi resiko.
Inggris misalnya lolos dari krisis karena bank HSBC bersedia membeli Silicon Valley Bank cabang Inggris dengan harga 1 poundsterling dan menjamin simpanan deposan.
Selain itu, perusahaan rintisan yang menerima pendanaan dari ketiga cabang itu akan kesulitan seperti di Republik Rakyat China. Namun sepengetahuan saya ketiga bank yang bankrut tersebut tidak memiliki cabang di Indonesia.”
“Kalaupun ada perusahaan rintisan Indonesia atau perusahaan crypto yang menyimpan atau menerima dana dari ketiga bank maka kesulitan keuangan hanya terlokalisir pada perusahaan-perusahaan tersebut, yang terlalu kecil untuk bisa berdampak sistemik kepada keuangan Indonesia,” ujar Hendra.
Hendra juga yakin bahwa perbankan Indonesia memiliki kecukupan modal yang tinggi sehingga akan mampu membendung gejolak keuangan dan likuiditas global.
“Yang terpenting, secara fundamental, saat ini Indonesia sudah jauh lebih kuat dari siap daripada saat terjadinya krisis moneter 1997 dan krisis subprime mortgage tahun 2007. Perangkat institusional dan aturan-aturan juga sudah lebih rigid yang memungkinkan Indonesia meraungi krisis keuangan,” tutup Hendra.
KEYWORD :Bank Amerika Serikat Hendra Setiawan Boen Krisis Ekonomi