Illustrasi - Buah Sawit. (Foto istimewa/Jurnas)
JAKARTA, Jurnas.com - Pemerintah terus berkomitmen mencapai 23 persen bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun tahun 2025, sebagai langkah untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Hal itu terungkap dalam Webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) yang mengangkat tema "Kontribusi Industri Sawit Terhadap Net Zero Emissions Indonesia", Jakarta, Rabu (24/5).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana mengatakan, Indonesia saat ini menjadi negara terbesar dalam penggunaan biodiesel dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia.
"Kita akan terus tingkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati ini baik dalam bentuk biodiesel maupun dalam bentuk bio yang lain, bahan bakar bio yang lain misalkan bioetanol itu juga bisa dibuat atau misalkan juga nanti bisa biogas," ucap dia.
Dadan menuturkan bahwa pemerintah saat ini tengah mendorong pendekatan teknologi untuk mengkonversi minyak nabati, misalkan sawit langsung menjadi bensin atau langsung menjadi solar.
"Jadi ke depan terkait dengan pemanfaatan bioenergi khususnya yang berbauh sawit kita akan manfaatkan secara maksimal baik itu dalam bentuk bahan bakar nabati yang sifatnya cair maupun dalam bentuk biogas untuk mengolah limbah-limbah cairnya yang masih organik atau juga dimanfaatkan juga yang bentuknya padat atau biomassa misalkan pohonnya, tandanya kemudian fibernya itu juga jumlahnya kan cukup besar," kata dia.
Dia mencatat, sudah banyak yang menggunakan listrik yang berasal dari pembangkit bio. Sekarang sudah ada 874 megawatt pembangkit yang beroperasi baik itu listriknya dijual ke PLN maupun dipakai sendiri.
Dia pun menilai sawit terbilang ramah lingkungan karena mampu menyerap CO2 lebih banyak dibandingkan dengan pohon-pohon yang lain. Angkanya dari 25 ton CO2 per hektare per tahun hingga 64,5 ton CO2 per hektare per tahun.
"Jadi kira-kira angkanya itu memang agak jauh, tapi secara prinsip bahwa pohon sawit ini bukan mengeluarkan emisi, tapi menyerap emisi CO2 atau menyerap CO2," kata dia.
"Jadi kalau dibandingkan antara bahan berdasarkan sumber dari bahan bakar tersebut kita ini paling baik. Jadi 62 persen bisa menghemat. Jadi menurunkan emisinya itu 62 persen dibandingkan dengan kalau digunakan minyak diesel," kata dia.
Kepala Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, Meika Syahbana Rusli mengatakan, menambahkan bahwa sawit mampu secara signifikan menyerap CO2 yang ada di atmosfer.
"Jadi kalau kita mensubtitusi solar yang semata-mata memproduksi gas rumah kaca atau CO2, subtitusi tersebut membuat pengurungan signifikan karena diserap oleh kebun-kebun sawit yang tumbuh," kata dia.
Sebagai contoh seiring meningkatan konsumsi biodiesel pada 2016-2021 terjadi penurunan emisi pada tahun 2020 22,48 persen dan di tahun 2021 diproyeksikan 25,43 persen. "Jika dibandingkan dengan diesel fuel maka angkanya sekitar 22 persen tahun 2021," kata dia.
Direktur Tunas Sawa Erma, Luwy Leunufna mengatakan, pihaknya berkomimen untuk mengikuti semua aturan dan ketentuan pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, kami menyadari pentingnya berkontribusi dalam upaya untuk atau upaya global untuk mencapai sampai dengan Net Zero sampai 2050 itu," kata dia.
Dia juga mengatakan berkomitmen untuk mencapai target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen di tahun 2030 mendatang dengan target dukungan internasional sebesar 43,20 persen.
"Tadi juga sudah disampaikan bahwa komitmen terakhir yang disampaikan oleh pemerintah yaitu emisi 31,89 persen pada tahun 2030 dan 43,20 persen. Sekali lagi posisi kami sepenuhnya mendukung upaya pemerintah," imbuh dia.
KEYWORD :Indonesia Biodiesel Kelapa Sawit Gas Rumah Kaca Malaysia Net Zero Emissions