Buku Nikah. (Foto: Ist)
JAKARTA, Jurnas.com - Perkawinan di usia dini memberi kontribusi terhadap kenaikan prevalensi stunting di Indonesia. Karena itu, pemerintah melakukan intervensi terhadap masalah ini dengan lebih masif. Hal ini mengingat target nasional prevalensi stunting pada 2024 harus sudah mencapai 14 persen dari saat ini 21,6 persen.
"Pemerintah daerah tentu saja harus ikut terlibat aktif dalam program percepatan penurunan stunting," ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo saat menerima kunjungan kerja Pj. Gubernur Sulawesi Barat, Zudan Arif Fakrulloh di ruang rapat Sekretariat Satgas Stunting kantor BKKBN, Jakarta, Senin (12/6)
Dalam penjelasannya, Hasto memaparkan bahwa Sulawesi Barat menempati urutan ke tujuh secara nasional sebagai provinsi dengan jumlah remaja menikah di usia muda.
Agar tidak memunculkan bayi-bayi baru dengan kondisi stunting, Hasto meminta agar mereka yang kawin di usia muda untuk menunda dulu kehamilannya.
Kisah Pejuang Stunting di Tengah Minimnya Kesadaran Masyarakat, `Bersatu Kita Teguh Bertiga Kita Tangguh`
"Bila secara medis kondisi kesehatan belum memungkinkan untuk hamil, seperti hemoglobin (anemia) masih tinggi, lingkar lengan atas kurang dari 23 centimeter, dan kondisi kesehatan lainnya, maka jangan dulu hamil. Perbaiki dulu kondisi kesehatan agar tidak melahirkan bayi stunting," kata Hasto dalam audiensi yang juga disertai Ketua DPRD Sulawesi Barat Sitti Suraidah Suhardi.
Dari BKKBN turut mendampingi Sekretaris Utama BKKBN Tavip Agus Rayanto, Deputi KSPK Nopian Andusti, Direktur Penggerakan Lini Lapangan I Made Yudhistira, Kepala Biro Perencanaan Wahidin, dan Program Manager Sekretariat Stunting Nasional Ipin Z.A. Husni.
Merujuk pada data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini prevalensi stunting di Sulbar terbilang cukup tinggi, menempati urutan keempat nasional, dengan angka kematian bayi mencapai 29/1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu hamil dan melahirkan mencapai 274/100.000.
Agar program percepatan penurunan stunting berjalan efektif, Hasto mengatakan bahwa BKKBN telah membangun kemitraan dengan banyak pihak dan memanfaatkan data Pendataan Keluarga (PK) sebagai salah satu basis intervensi.
Melalui data PK akan diketahui secara pasti ke mana intervensi harus dilakukan sehingga tepat sasaran. "Kta bisa mengetahui secara pasti lokasi mereka karena data PK berbasis `by name by address`," jelas dr. Hasto.
Guna memberikan pendampingan terhadap program penurunan stunting, BKKBN telah mengerahkan 600.000 Tenaga Pendamping Keluarga (TPK) di seluruh Indonesia. Sebanyak 2.800 orang TPK berada di Sulbar.
Tugas mereka memberikan pendampingan terhadap keluarga-keluarga berpotensi stunting atau yang memiliki anak stunting. Termasuk mendukung kegiatan mitra BKKBN yang tengah melakukan intervensi.
Tugas TPK sangat dibutuhkan, karena setidaknya ada 27.500 kehamilan terjadi setiap tahun di Sulbar, di mana di periode itu terdapat 15.000 pernikahan. Sebanyak 80 persen dari mereka yang menikah hamil di tahun pertama.
Hasto mengatakan, melakukan intervensi terhadap remaja dan calon ibu serta ibu hamil agar mereka tidak melahirkan anak dengan kondisi stunting merupakan kunci sukses program percepatan penurunan stunting.
"Dari pada memberikan intervensi terhadap anak yang sudah stunting, walau itu harus tetap kita lakukan," tambah Hasto.
"Dari 30 persen pasangan yang menikah di Sulbar dan berpotensi melahirkan anak stunting karena kondisi kesehatan mereka, maka 4000 bayi stunting akan lahir kalau tidak dicegah. Jadi, mencegah lahirnya bayi stunting itu lebih sukses dalam mempercepat penurunan prevalensi stunting," tambah Hasto.
Hasto berharap semakin banyak calon pengantin (catin) yang mengakses aplikasi elsimil (aplikasi siap nikah siap hamil). Dengan begitu akan terpantau kondisi kesehatan mereka menjelang pernikahan. Sehingga pemerintah bisa memberikan intervensi untuk "menyehatkan" catin sebelum menikah atau saat sudah menikah bila kondisi kesehatannya belum mendukung untuk hamil.
Hasto mencontohkan Sulbar yang pada periode Januari-Mei 2023 hanya 478 catin yang mengisi data pada elsimil. "Harusnya mendekati 6.000 catin yang mengisi," ungkap Hasto.
Terkait dengan kondisi sebagai syarat melahirkan bayi yang sehat, Hasto menjelaskan bahwa ibu yang akan hamil harus memiliki Indeks Masa Tubuh yang ideal. "Mereka jangan terlalu kurus, lingkar lengan atas jangan kurang dari 23 cm, hemoglobinnya tidak rendah," tandas Hasto seraya memaparkan data bahwa 14 persen catin (ibu) di Sulbar dalam kondisi terlalu kurus.
Ibu yang terlalu kurus saat hamil dan melahirkan akan melahirkan bayi yang berpotensi stunting, cacat hingga kurang gizi. "Jadi, tunda dulu hamil, gemukkan diri dulu," jelas Hasto.
Data juga menunjukkan, dari 471 catin di Sulbar, sebanyak delapan orang berada pada kondisi anemia berat, anemia sedang 88 orang dan anemia ringan sebanyak 261 orang. Sementara satu orang normal.
Hasto Wardoyo juga menyampaikan faktor sensitif yang berkontribusi sebesar 70 persen terhadap prevalensi stunting. Sebut saja, sumber air minum yang tidak layak, jamban tidak layak, rumah tidak layak huni. Atau terlalu muda melahirkan, terlalu tua melahirkan, terlalu dekat jarak kelahiran dan terlalu banyak anak (4T).
Sementara itu, Pj. Gubernur Sulbar, Zudan, menilai pertemuan ini strategis mengingat banyak data yang bisa diperoleh dari Kepala BKKBN. Berdasarkan masukan dari pertemuan ini, Zudan memerintahkan jajarannya untuk melakukan rapat koordinasi secepatnya dengan komponen terkait hingga ke jajaran di tingkat kelurahan dan desa
KEYWORD :Pernikahan Usia Dini Sulawesi Barat Prevalensi Stunting Hasto Wardoyo