Polisi Prancis mengamankan jalannya sidang pelaku teror (Foto: Reuters)
Paris, Jurnas.com - Sekelompok pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai Prancis di bawah pemerintahan Emmanuel Macron, terlalu berlebihan dalam menggunakan kekuatan polisi dalam menghadapi demonstrasi.
Laporan para ahli independen tersebut mengacu pada protes kebijakan nasional tahun ini terhadap reformasi pensiun, serta demonstrasi di pedesaan menentang pemasangan baskom air besar untuk mengairi tanaman.
"Kurangnya pembatasan dalam penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa, tidak hanya akan menjadi anti-demokrasi, tetapi juga sangat mengkhawatirkan perlindungan supremasi hukum," demikian kata pakar yang dikutip dari AFP pada Sabtu (17/6).
Selain itu, brigade bermotor `Brav-M` di Paris serta aksi mengancam dan memukul demonstran oleh kepolisian dilakukan dalam protes di Sainte-Soline. Aparat juga diduga menembakkan peluru karet dari sepeda quad yang sedang bergerak.
"Jumlah orang yang terluka dan parahnya tindakan kekerasan yang dilaporkan sangat mengkhawatirkan," ungkap para ahli.
Pakar sekaligus menyoroti fakta bahwa Prancis merupakan satu-satunya negara di Eropa yang menggunakan gas air mata dan granat kejut, untuk membubarkan massa selama operasi ketertiban umum.
"Kami mengingatkan Prancis bahwa setiap strategi kepolisian harus menghormati prinsip kebutuhan dan proporsionalitas," tambah mereka," tutupnya.
Prancis Polisi Demonstrasi Aksi Kekerasan