Banyak orang di Sri Lanka berjuang untuk membeli makanan karena harga naik (Foto: AFP/ISHARA S. KODIKARA)
Kolombo, Jurnas.com - Kepala Bank Sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe mengungkapkan penyebab bangkrutnya negara itu. Menurut dia, situasi ini sudah dia prediksikan beberapa tahun lalu, sebelum sempat memutuskan pensiun dini.
Pasca Gotabaya Rajapaksa menang dalam pemilihan presiden pada 2019 silam, utang Sri Lanka melonjak tajam. Pasalnya, presiden mencetak uang dalam jumlah tinggi, namun menahan nilai tukar dan suku bunga yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Weerasinghe yang kala itu menduduki jabatan Wakil Gubernur Bank Sentral, menyampaikan keprihatinannya. Namun, sarannya selalu ditolak oleh kantor presiden. Walhasil, Weerasinghe memilih pensiun dini.
Trump Isyaratkan Minat untuk Mempengaruhi Keputusan Federal Reserve Jika Kembali ke Gedung Putih
"Jelas saya melihat jika kebijakan itu berlanjut seperti itu kita akan berakhir dalam situasi yang saya katakan pada saat itu persis seperti yang terjadi," ungkap Weerasinghe dikutip dari AFP pada Jumat (7/7).
Weerasinghe pergi ke Australia. Bersama istri dan anak-anaknya dia menghabiskan waktu di lapangan golf lima hari sepekan. Tak lama usai pensiun, Rajapaksa memanggilnya untuk kembali memimpin bank sentral.
Dia menurut. Namun, kondisi Sri Lanka saat itu dalam kekacauan. Mata uangnya terjun bebas, dan pemerintah gagal bayar utang luar negeri sebesar US$46 miliar. Situasi genting ini diperburuk dengan pandemi Covid-19, yang mengakibatkan cadangan devisa nyaris habis.
Rak-rak supermarket, kata Weerasinghe, kosong karena importir tidak bisa membeli barang. Antrean mengular di SPBU. PLTU bahkan harus menjatah listrik hanya 13 jam setiap harinya.
Rajapaksa akhirnya meninggalkan Sri Lanka pada awal Juli ini, menyusul protes berbulan-bulan dari masyarakat. Penerusnya ialah Ranil Wickremesinghe, yang berupaya memperbaiki keuangan negara melalui bailout Dana Moneter Internasional senilai US$2,9 miliar.
Paket penyelamatan ini memicu penghematan besar-besaran. Termasuk pemberlakuan pajak tinggi dan diakhirinya subsidi untuk masyarakat.
"Kali ini tidak ada alasan, tidak ada kesempatan kedua, kita harus melakukannya dengan benar kali ini," tegas Weerasinghe.
"Di sinilah menurut sata krisis adalah peluang," tutup dia.
KEYWORD :Sri Lanka Kebangkrutan Bank Sentral