Direktur Analisis Dampak Kependudukan BKKBN, Fahruddin.
INDRAMAYU, Jurnas.com - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendengarkan aspirasi masyarakat Indramayu untuk mengendalikan pernikahan anak usia dini dan menurunkan angka stunting.
Hal ini dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Kantor Kuwu, Desa Benda, Kecamatan, Karangampel Kidul, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (21/7).
Direktur Analisis Dampak Kependudukan BKKBN, Fahruddin ditemui mengatakan, kasus pernikahan anak di Indramayu masih cukup tinggi. Kasus itu berawal dari kemiskinan dan memicu perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga stunting.
Kisah Pejuang Stunting di Tengah Minimnya Kesadaran Masyarakat, `Bersatu Kita Teguh Bertiga Kita Tangguh`
"Sudah lama kita dengar bahwa perkawinan masih tinggi dan dampaknya kalau perkawinan dini, korbannya lebih banyak perempuan, baik dari sekolahnya, pendidikannya, kesehatan reproduksinya, ekonominya, dan sosialnya," kata Fahruddin.
Untuk itu, melalui Hari Kependudukan Dunia 2023, kata Fahruddin, pihaknya mendengar langsung masyarakat bercerita terkait dengan tantangan yang dihadapi perempuan di Indramayu.
"Makanya hari ini kita ingin gali informasi jangan sampai kalau Hari Kependudukan selama ini dari kita saja yang terus kampanye, tapi kita lupa mengambil aspirasi masyarakat," tutur Fahruddin.
Peserta yang mengikuti FGD sebanyak 40 orang yang dibagi menjadi empat kelompok, yaitu remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, tokoh masyarakat/tokoh agama, perempuan dewasa 21-49 tahun, dan remaja putri.
"Hasil dari FGD ini akan kami baca ulang di Jakarta, akan kami lihat dan akan kami tarikan mungkin ada sesuatu format kebijakan yang keluar," imbuh dia.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Bonivasius Prasetya Ichtiarto menjelaskan, perempuan di Indramayu masih menghadapi tantangan dalam mengakses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas. Terbatasnya kesempatan pendidikan ini membatasi peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sebagaimana diketahui bersama, masih banyak perempuan Indramayu yang bekerja sebagai pekerja migran, terutama ke negara-negara seperti Malaysia, Taiwan, dan Arab Saudi.
"Migrasi pekerja wanita ini seringkali berhubungan dengan sektor pekerjaan domestik atau pekerjaan di sektor informal. Mereka dapat menghadapi risiko eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan, serta kurangnya perlindungan hukum yang memadai," kata dia.
Ketidaksetaraan gender juga masih menjadi masalah di Indramayu. Perempuan sering menghadapi penggajian yang tidak setara dengan laki-laki, kesempatan promosi yang terbatas, dan perlakuan yang tidak adil di tempat kerja.
"Stereotip gender dan harapan tradisional juga dapat membatasi perempuan dalam memilih pekerjaan atau mengejar karir yang diinginkan," tuturnya.
Selain itu, kasus perkawinan anak di Kabupaten Indramayu juga tinggi. Kasus itu berawal dari kemiskinan dan memicu perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga stunting, yaitu kondisi kurang gizi kronis sejak bayi dalam kandungan yang berakibat terganggunya tumbuh kembang anak.
Berdasarkan data SSGI tahun 2022, prevalensi stunting di Indramayu tercatat 21,10 persen.
KEYWORD :Pernikahan Anak Perempuan Indramayu BKKBN Fahruddin