Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih. (Foto: Dok. Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan konfrontasi antara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dengan eks Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi terkait kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) periode 2021-2022 beserta turunannya.
Bukan tanpa alasan, Yenti mengaku bingung dengan sistem penegakan hukum dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Pada kasus yang merugikan negara Rp. 6,47 triliun rupiah ini hanya menjerat orang di luar pemerintah, padahal pengambil kebijakan ada pada pemerintah. Parahnya lagi, dalam kasus ini yang sudah ditetapkan sebagai tersangka adalah orang di lapangan tanpa menyentuh para pejabat terkait.
“Nah itu memang penegakan hukum di masa lalu, satu tahun yang lalu itu memang hanya ingin mempidana orang-orang di luar pemerintahan, padahal mereka itu apakah mungkin bisa melakukan ekspor impor seperti itu, atau larangan yang kemudian menimbun,” kata dia kepada wartawan, Senin (6/8).
Yenti juga mempertanyakan kedalaman pengembangan kasus korupsi CPO ini dimana para terduga pelaku elit harus disentuh secara menyeluruh, tidak pandang bulu, baik itu Airlangga Hartarto maupun M. Lutfi.
“Ini kan impor yang dilarang dan kemudian penimbunan itu apakah tanpa adanya keterlibatan kementerian? apakah kementerian langsung ataukah kementerian teknis, ataukah kementerian koordinatornya? Nah itu kenapa baru sekarang,” tanya dia.
Yenti pun mempertanyakan tidak adanya tindakan TPPU dalam kasus korupsi CPO ini, padahal kerugian negara sudah pasti sebesar Rp 6,47 triliun dan lima orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk anak buahnya Airlangga Hartarto, Weibinanto Halimdjati atau Lin Che Wei Anggota Tim Asistensi Kementerian Koordinator Perekonomian.
“Kalau tidak ada (TPPU) ya itu sangat salah, karena orang dulu sudah rugi bahkan tadi ada rugi batin. Hari gini orang ngantri aduh malu banget ngantri kan waktu itu, Rp 6,47 triliun kerugian negara itu kemana sih, siapa yang menikmati, kenapa tidak ditetapkan TPPU sejak awal, apakah memang penegak hukum tidak paham,” ucapnya.
Yenti mengaku bingung dengan cara penegakan hukum di kasus korupsi CPO ini, dimana aparat penegak hukum dalam hal ini Kejagung hanya berani mentersangkakan orang lapangan dan tidak berani melakukan hal yang sama kepada Airlangga Hartarto maupun kepada Muhammad Lutfi.
“Bahwa penegakan korupsi itu sangat tidak ideal dan sangat menyakitkan rakyat kalau tidak dikaitkan dengan TPPU. Artinya apa, negara memang hanya kepengen mempidana orang badan saja, memenjarakan orang lapangan saja tanpa memikirkan rakyat, dan hal ini sudah sangat dirugikan,” ungkapnya.
Untuk itu, Yenti menyarankan penyidik Kejagung lebih mendalami kasus korupsi CPO ini karena aksi melawan hukum ini tidak hanya dilakukan oleh orang lapangan, pastinya akan bermuara pada pejabat negara.
Dalam hal ini kementerian terkait yang melakukan impor CPO yakni Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Mendag Muhammad Lutfi.
“Ya memang bisa dilakukan karena kan bersama-sama melakukan korupsinya. Masa Menko aja, kan aneh sekali juga harus dilihat hubungannya Mendag sama Kemenko jadi harus ditanyakan lagi, harus dilihat lagi putusan-putusan yang sudah dipidana ini dibaca lagi keterangan-keterangannya itu,” jelasnya.
“Tapi lucunya, ini sudah setahun gitu jadi jangan seolah-olah kaget kalau masyarakat resah dengan dikaitkan dengan Pak Airlangga. Artinya begini, kalau menurut saya Pak Airlangga itu dulu yang harus diperiksa,” pungkasnya.
KEYWORD :
Kejagung CPO ekpor minyak sawit korupsi TPPU Yenti Garnasih