Aksi Mogok Makan di Depan Gedung DPR Desak Pengesahan RUU PPRT (Istimewa)
Jakarta, Jurnas.com - Presiden Joko Widodo akan menyampaikan pidato kenegaraan sekaligus penyampaian Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2024 dan nota keuangannya pada 16 Agustus 2023 di Gedung DPR/ MPR Jakarta
Pada saat yang sama, para Pekerja Rumah Tangga (PRT) sedang melakukan aksi mogok makan di depan Gedung DPR sejak 14 Agustus 2023. Para PRT meminta DPR untuk mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang.
Para PRT berharap, pidato kenegaraan Presiden 16 Agustus 2023 tidak hanya menyampaikan RAPBN, tetapi juga pidato kenegaraan yang mengingatkan pada Ketua DPR, Ketua Fraksi dan para anggota DPR RI bahwa mereka masih punya pekerjaan rumah untuk mengesahkan RUU PPRT.
Karena jika DPR membiarkan perbudakan modern terus terjadi pada para PRT, artinya PRT masih menanggung beban sebagai manusia yang belum merdeka.
“Kami mengundang DPR untuk keluar dari gedung setelah pidato kenegaraan Presiden untuk melihat nasib kami. Kami menunggu di depan DPR,” kata salah satu PRT, Adiyati.
19 Tahun sudah JALA PRT dan berbagai organisasi masyarakat sipil mengajukan dan memperjuangkan RUU PPRT ke DPR. RUU PPRT sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, berbagai proses dialog, revisi dan pembahasan, hingga posisi terakhir sudah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa RUU akan disahkan.
Padahal Agustus 2022, Pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP) juga sudah membentuk Gugus Tugas RUU PPRT, dan pada 18 Januari 2023, Presiden RI Joko Widodo telah berkomitemen atas perlindungan PRT dan secara resmi memberikan statement secara tegas untuk mempercepat pengesahan RUU PPRT.
Lita Anggraini, Koordinator JALA PRT menyatakan, apabila ada alasan perbedaan dari DPR, maka sesungguhnya DPR bisa membahasnya bersama Pemerintah untuk mewujudkan jalan bersama.
“Kami menyesalkan, merasa prihatin atas proses RUU PPRT yang mendesak untuk disahkan, namun DPR terus menunda dan menunda terus, memposisikan 4 sampai 5 juta PRT yang mayoritas perempuan, warga miskin dan penopang perekonomian nasional sebagai warga yang terus menerus ditinggalkan, dipinggirkan dan seolah-olah dianggap wajar mengalami kekerasan dan perbudakan,” kata Lita Anggraini.
Tyas Widuri dari Perempuan Mahardhika menyatakan bahwa saat ini PRT terus berjuang, melakukan aksi mogok makan di depan DPR sampai RUU disahkan.
“Dan jika DPR terus membiarkan kondisi ini, maka DPR membiarkan PRT dalam perbudakan, dan sebagai pekerja yang dianggap tidak berhak mendapatkan kemerdekaan dalam bekerja.”
Koalisi Aksi Mogok Makan PRT mendata, bahwa 1 hari penundaaan pengesahan RUU PPRT sama dengan membiarkan puluhan PRT korban berjatuhan dan hidup dalam kemiskinan yang berkelanjutan. Data JALA PRT di tahun 2023, bahwa 2641 kasus, 79% mereka tidak bisa menyampaikan situasi kekerasan karena akses komunikasi yang ditutup hingga mulai meningkat intensitas kekerasan dan berujung pada situasi korban yang fatal.
“Apakah hal ini tidak dianggap krisis? Apakah 1 korban tidak penting bagi DPR. Sementara prinsip kemerdekaan adalah tanpa kekerasan. Apakah karena PRT maka kasus kekerasan dianggap wajar?,” kata Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Para PRT yang melakukan aksi di depan DPR sejak 14 Agustus 2023. Aksi mogok makan ini dilakukan sambil mendirikan tenda dan menyajikan piring-piring kosong yang berisi sikat kamar mandi, batu-bata, rantai, dot bayi, spon pencuci piring yang menandakan situasi kerja buruk yang dialami PRT.
Salah satu PRT, Adiyati yang mengikuti aksi menyatakan bahwa aksi piring kosong ini menandakan PRT yang menahan lapar karena jam kerja yang panjang dan tidak bisa berkata tidak, karena harus terus bekerja.
KEYWORD :RUU PPRT Mogok Makan