Peserta didik penerima program Beasiswa Adem Kemdikbudristek (Foto: Ist)
Surabaya, Jurnas.com - Sabtu siang di Museum 10 Nopember Surabaya, perempuan berkulit sawo matang berjalan pelan ke sisi ruangan utama. Dua rambut kepangnya maju dan mundur bergantian bak mengikuti gerak langkah. Matanya bulat, tingginya sekira 150-an sentimeter. Dari jarak lima meter, senyumnya merekah.
"Saya Ona," kata perempuan ini membuka obrolan di tengah hingar-bingar pengunjung. Dia lagi-lagi tersenyum.
Ona Ernastin Erwin, nama lengkapnya. Wajahnya tak dapat menyembunyikan ekspresi kegirangan ketika ditanya kesannya diajak berkeliling Museum 10 Nopember. Sebab bagi dia, ini bukan sekadar studi wisata, melainkan sebuah kepingan baru untuk mengenal lebih jauh negara asalnya, Indonesia.
Ona memang tidak lahir dan tumbuh di Indonesia. Puluhan tahun lalu, nasib membawa kedua orang tuanya dari Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Sarawak, Malaysia untuk bekerja sebagai buruh kelapa sawit. Dan sejak itu, mereka memilih menetap meski berstatus sebagai migran ilegal.
"Sampai sekarang sudah punya anak delapan, saya anak keenam," kata Ona kepada Jurnas.com, di sela-sela kegiatan `Wawasan Kebangsaan Program Beasiswa Adem Repatriasi` di Surabaya pada Sabtu (14/10) lalu.
Bila dirunut dari awal, orang tua Ona diiming-iming pekerjaan bergaji tinggi di Malaysia. Ternyata, janji manis itu cuma bualan. Ibunya malah hanya mengantongi 500-800 Ringgit Malaysia atau Rp1,6-2,8 juta setiap bulan sebagai buruh.
Setelah menikah, perekonomian orang tua Ona juga tak kunjung membaik. Jangankan untuk pulang kampung, hidup pun pas-pasan. Situasi ini kian suram usai ayah Ona meninggal dunia akibat asma. Otomatis, kakak-kakaknya juga dituntut ikut bekerja.
"Kakak-kakak memang sudah bekerja, tapi karena tidak memiliki dokumen, gajinya kecil dan hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing," imbuh Ona.
Tekanan ekonomi tak membuat Ona putus asa. Dia memutuskan untuk menempuh pendidikan di sekolah milik pemerintah Indonesia, Community Learning Center (CLC), sejak SD hingga SMP. Dia berharap, pendidikan bisa mengubah jalan hidup keluarganya.
Nasib baik berpihak pada Ona selepas lulus dari CLC. Dia lolos seleksi Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem) Repatriasi, program beasiswa Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) bagi anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tinggal di luar negeri, khususnya di Sabah, Sarawak, dan Johor Bahru, Malaysia.
Melalui program beasiswa ini, para peserta didik terpilih akan menjalani pendidikan SMA di Indonesia selama tiga tahun, dan diharapkan melanjutkan pendidikan tinggi di Tanah Air, kesempatan yang sukar mereka dapatkan di Negeri Jiran.
"Sebagai WNI di Malaysia yang tidak memiliki dokumen lengkap, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Cuma bisa sampai SMA saja, itupun ada sekolah tertentu yang tidak bisa," kata Ona.
Dua bulan lalu, Ona pertama kali menginjakkan kaki ke Indonesia, merasakan pengalaman berharga mengenal langsung tradisi dan budaya asal orang tuanya. Bukan lagi sekadar cerita sebagaimana yang dia selalu dapatkan di CLC. Alasan ini pula yang membuatnya jatuh cinta dengan mata pelajaran sejarah.
"SMP di Malaysia itu tidak ada pelajaran P5, sejarah, mendalami cinta Tanah Air. Ini yang membuat saya kagum dengan Indonesia," tutur siswi SMA Immanuel Batu tersebut.
Ona ingat betul ekspresi orang tuanya ketika dia lulus Beasiswa Adem Repatriasi. Ibunya menangis bahagia, karena sang anak bisa melanjutkan SMA di Indonesia, tanah tempatnya kembali suatu hari nanti.
"Ibu minta saya belajar dengan baik karena ini salah satu jalan untuk saya menuju ke cita-cita saya," imbuh perempuan yang bercita-cita sebagai tentara itu.
Berharap Waktu Membawa Keluarga Pulang ke Indonesia
Harapan kembali ke Indonesia suatu hari nanti juga diutarakan Norin Fitriana, peraih Beasiswa Adem Repatriasi yang kini bersekolah di SMA Negeri Rambipuji, Jember, Jawa Timur. Saat ini, orang tuanya tinggal dan bekerja di Johor Bahru sebagai petugas kebersihan (cleaning service).
Seperti halnya Ona, Norin juga lahir dan tumbuh besar di Malaysia. Anak bungsu dari dua bersaudara ini hanya mendengar cerita tentang Indonesia dari ibunya maupun CLC. Karena itu, dia tertarik mendaftar ke Beasiswa Adem untuk melanjutkan sekolah di Indonesia.
"Sekarang tinggal kos di Jember dengan anak-anak Beasiswa Adem Repatriasi dan Beasiswa Adem Papua. Di situlah saya pertama kali bertemu dengan anak-anak Papua asli. Mereka asik dan seru," ujar Norin.
Norin juga memperoleh pengalaman pembelajaran yang menarik di Jember. Meski hidup di tengah siswa dan guru pengguna bahasa Jawa, dia tidak sedikitpun merasa terdiskriminasi. Norin bahkan tertantang untuk mempelajari bahasa Jawa.
"Sebulan dua bulan saya mulai agak mengerti bahasa mereka. Memang sempat belajar, tapi bahasa Jawa halus," tutur dia.
Perjalanan hingga lulus SMA di Jember masih panjang. Namun, Norin sudah bercita-cita untuk mengenyam pendidikan hingga magister (S-2) di Indonesia, agar bisa membawa pulang keluarganya dari Malaysia ke Sumatera Barat. Apalagi, kini orang tuanya yang tersisa cuma ibu.
"Ibu sering bilang mau pulang ke kampung, tapi kendala di pekerjaan. Karena, di sana kan pekerjaannya menjanjikan," tambah dia.
Pengalaman berbeda dialami Wawan. Pemilik nama lengkap Tuwan Otavio ini bangga bisa bersekolah di Indonesia, meski awalnya sempat khawatir tidak mampu beradaptasi dengan pembelajaran.
"Awalnya kami pikir akan dapat perundungan. Tapi setelah sampai di sini, orangnya ramah-ramah sekali, menyapa juga. Bahkan sekarang sudah banyak yang kenal saya," kata Wawan yang bersekolah di SMK Brantas Karangkates, Sumber Pucung, Malang.
Dibandingkan Ona dan Norin, Wawan lebih beruntung. Orang tuanya masih lengkap. Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART), sedangkan ayahnya buruh di toko. Sayangnya, itu tidak lantas membuat perekonomian keluarganya tercukupi.
Wawan adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kakak pertama dan ketiganya berkuliah di Yogyakarta. Sedangkan kakak keduanya bekerja di Malaysia untuk membantu menopang ekonomi keluarga.
"Lebih baik kamu ikut program beasiswa saja, karena keluarga kita tidak mampu. Apalagi kalian bertiga akan sekolah, jadi biaya bersekolah pasti mahal. Jadi mending kamu ikut Beasiswa Adem saja," ujar Wawan menirukan ucapan ayahnya sebelum mendaftar Beasiswa Adem.
Kini, Wawan ingin fokus memanfaatkan kesempatan belajar di Indonesia. Soal cita-cita, dia belum ambil pusing. Yang pasti, dia ingin menempuh pendidikan setinggi mungkin supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga nanti dia sekeluarga bisa kembali ke kampung halaman di Lembata, NTT.
"Nanti ingin lanjut kuliah di Malang. Kampus apa aja yang penting di Malang," tutup siswa yang hobi bermain gitar ini.
Koordinator Program Beasiswa Adem Repatriasi, Aji Kusumanto menyebut program Beasiswa Adem Repatriasi bertujuan mengembalikan anak-anak PMI supaya bisa mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi.
Kendati nantinya kembali ke Malaysia, lanjut Aji, para siswa ini memperoleh kehidupan yang lebih baik alih-alih menjadi buruh kasar sebagaimana orang tua mereka sebelumnya.
"Tujuannya mereka ke sini dan tidak kembali ke sana. Atau kalau mereka kembali ke sana bisa jadi profesional. Makanya, kami tidak memperbolehkan mereka kembali selama tiga tahun," terang Aji.
Saat ini, peserta program Beasiswa Adem Repatriasi tersebar di 11 provinsi se-Indonesia yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Banten, Lampung, Bali, NTB, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Selama menjalani program beasiswa, mereka memperoleh bantuan biaya pendidikan serta biaya hidup sebesar Rp2 juta per bulan. Selain itu, siswa-siswi tersebut juga akan mengikuti pendidikan wawasan kebangsaan.
"Harapannya agar menanamkan jiwa nasional, mendampingi siswa tidak culture shock, membantu adaptasi dengan lingkungan baru, serta memberikan pengetahuan dasar literasi," jelas Aji.
Adapun lima lokasi penyelenggara kegiatan wawasan kebangsaan yakni DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Kalimantan Selatan.
KEYWORD :Beasiswa Adem Kemdikbudristek Pekerja Migran Indonesia Buruh Kasar Puslapdik