Jum'at, 01/11/2024 08:28 WIB

Pimpinan MPR: Putusan MK Menabrak Tuntutan Reformasi Menolak KKN

Putusan ini jelas tidak konsisten dengan putusan-putusan MK sebelumnya yang menyatakan berkaitan dengan syarat usia pejabat publik bahwa itu bukan kewenangan MK, melainkan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Pemerintah. Ini jelas sangat disesalkan dan disayangkan.

Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. (Foto: Humas MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan pihak yang berumur di bawah 40 tahun tapi pernah/sedang menjadi kepala daerah bisa maju/dicalonkan dalam Pilpres 2024 mendatang.

Politikus PKS itu menegaskan, putusan tersebut menunjukkan inkonsistensi MK, sehingga dikhawatirkan dapat menjatuhkan marwah dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tertinggi tersebut.

“Putusan ini jelas tidak konsisten dengan putusan-putusan MK sebelumnya yang menyatakan berkaitan dengan syarat usia pejabat publik bahwa itu bukan kewenangan MK, melainkan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Pemerintah. Ini jelas sangat disesalkan dan disayangkan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa(17/10).

HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa sekalipun 4 hakim MK menyampaikan dissenting opinion, tapi 5 hakim membuat putusan mengabulkan yang tidak sesuai dengan prinsip kenegarawanan yang menjadi syarat sebagai Hakim Konstitusi.

“Dan Rakyat, pemilik Kedaulatan memilih capres dan cawapres, tentu harus memperhatikan dan menyimak putusan tidak konsisten yang dinilai banyak pihak sebagai akan menguntungkan salah satu kepala daerah yang masuk dalam bursa cawapres padahal umurnya belum mencapai 40 tahun, tapi yang bersangkutan adalah anak Presiden Joko Widodo ini,” terangnya.

Sehingga memunculkan ungkapan yang memelesetkan bahwa MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Keluarga, hal yang semakin menjatuhkan marwah lembaga peradilan tersebut.

“Putusan ini berpotensi menabrak prinsip penting hadirnya salah satu tuntutan reformasi yaitu menolak KKN. Yang ditolak bukan hanya Korupsi, dan Kolusi tapi juga ‘nepotisme’,” tuturnya.

Oleh karena itu, HNW menyarankan agar siapa pun kepala daerah - termasuk Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi - yang dinilai memenuhi kriteria dalam putusan MK untuk maju menjadi cawapres, agar yang bersangkutan perlu menghadirkan sikap kenegarawanan untuk tidak mengambil kesempatan menjadi cawapres itu.

“Sebab selain tidak ada kewajiban mengambilnya, hal itu jelas menjurus kepada nepotisme yang ditolak oleh tuntutan Reformasi. Demikian juga ayahnya, yaitu Presiden Jokowi, agar menghadirkan kenegarawanan dengan tidak mengizinkan Walikota Solo yang adalah anaknya itu untuk maju sebagai cawapres, sekalipun MK membolehkannya,” jelasnya.

HNW menjelaskan, semata-mata demi kebaikan eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi berbasis hukum, bukan negara kekuasaan dan untuk menepis soal nepotisme, agar meninggalkan legacy kenegarawanan yang akan mengharumkan nama beliau dan anaknya dan menyelamatkan Indonesia sebagai negara hukum juga.

“Karena Pasal 171 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan  kepala daerah yang akan maju capres atau cawapres harus meminta izin Presiden. Maka bila Presiden Jokowi memberikan izin, publik akan mendapat konfirmasi bahwa dugaan adanya cawe-cawe Presiden Jokowi dalam pemilu/pilpres, sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, memang semakin terbukti, benar adanya,” ujarnya.

HNW menjelaskan rakyat yang oleh Konstitusi disebut sebagai pemilik kedaulatan untuk memilih Capres/cawapres, harusnya terus memperhatikan dan menyimak bagaimana ‘kesempatan’ itu diberikan dengan cara-cara yang aneh dan membingungkan.

“Ini bisa dibaca di dalam dissenting opinion (pendapat berbeda), dimana Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam putusan itu menyatakan secara terbuka rasa bingung dengan perubahan sikap mayoritas hakim MK. Kalau Wakil Ketua MK saja bisa bingung dengan putusan tersebut, apalagi dengan Rakyat,” ujarnya.

Sebagai informasi, putusan ini tidak dibuat secara bulat oleh para hakim MK. Dari sembilan hakim MK, lima hakim setuju mengabulkan permohonan, dan empat hakim (termasuk Wakil Ketua MK Saldi Isra) menolak permohonan karena berpandangan MK seharusnya konsisten pada putusannya terdahulu.

Meski begitu, HNW mengatakan rakyat yang memperhatikan dan menyimak inkonsistensi yang membingungkan itu yang nanti akan menjadi ‘hakim’ dalam pemilu/pilpres mendatang.

“Rakyat saat ini sudah semakin kritis dengan segala fenomena dan akrobat yang terjadi menjelang pemilu/pilpres ini. Maka sekalipun ada putusan MK ini bukan berarti Rakyat tidak boleh memilih capres/cawapres di luar dari yang diuntungkan akibat dari putusan tersebut, atau harus memilih capres dengan cawapres yang sesuai dengan keputusan MK itu, sekalipun tidak sesuai dengan tuntutan reformasi dan konsistensi putusan MK,” jelasnya.

“Pada akhirnya Rakyat yang akan menjadi hakim dan menentukan masa depan Indonesia di bilik suara. Sekalipun Ayah dan Anaknya “ngotot” memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh 5 hakim MK tersebut. Dan sekalipun demikian, Rakyat mestinya juga tetap mempergunakan kedaulatannya dengan memperhatikan, mengawal dan mengawasi penyelenggaraan pemilu/pilpres agar tetap dilaksanakan secara jujur dan adil sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Agar hasil Pemilu termasuk Pilpres benar-benar lebih berkwalitas dan mempunyai legitimasi,” pungkasnya.

 

KEYWORD :

Warta MPR PKS Hidayat Nur Wahid putusan MK KKN batas usia cawapres




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :