Ilustrasi Galon Sekali Pakai. (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Para aktivis lingkungan menilai penggunaan kemasan sekali pakai termasuk galon kontraproduktif dengan semangat pengurangan sampah plastik secara global maupun nasional. Anehnya, promosi penggunaan kemasan tersebut justru malah semakin masif dilakukan.
"Kampanye masif yang mendorong penggunaan galon sekali pakai ini kontradiktif dengan semangat pengurangan sampah plastik," kata Juru Kampanye Perkotaan Walhi, Abdul Ghofar dalam keterangannya, Selasa (23/1/24).
Dia menegaskan bahwa seharusnya penggunaan galon sekali pakai tidak dipromosikan secara masif dan intensif. Dia melanjutkan, hal tersebut justru akan berlawanan dengan target mengurangi sebesar-besarnya penggunaan plastik.
DPR Sepakati RUU KSDAHE Dibawa ke Paripurna
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) 2022 mendapat bahwa jumlah timbunan sampah nasional mencapai angka 21,1 juta ton. Angka itu berasal dari 202 kab/kota se Indonesia.
Dari total produksi sampah nasional tersebut, sebesar 13,9 juta ton atau 65.71 persen dapat terkelola. Sedangkan sisanya sebanyak 7,2 juta ton atau 34,29 persen belum terkelola dengan baik.
Dalam data lainnya, mendapati ada 69 juta ton sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia sepanjang 2022. Rinciannya, sebesar 18,2 persen atau 12,5 juta ton adalah sampah plastik. Tidak sedikit dari jutaan ton sampah plastik itu berakhir begitu saja di laut.
Jumlah sampah plastik setiap tahun juga terus meningkat. Salah satu penyumbang naiknya jumlah sampah plastik adalah perilaku masyarakat Indonesia yang kerap menggunakan plastik sekali pakai.
Komunitas Malu Dong Sebut Penelitian Sungai Watch Tak Selesaikan Persoalan Sampah Plastik di Bali
Plastik-plastik sekali pakai tersebut kemudian menjadi sampah dan dapat menimbulkan efek buruk bagi lingkungan bila masuk ke perairan atau tanah. Penggunaan kemasan sekali pakai termasuk galon memang telah menjadi masalah besar yang harus segera dipecahkan.
Ghofar mengatakan, angka sampah plastik yang bisa dikumpulkan secara nasional belum menyentuh 15 persen. Sedangkan, sampah plastik yang mampu didaur ulang baru mencapai 10 persen. Sementara, 50 persen sisanya tidak terkelola dan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Melihat kondisi itu, penggunaan galon sekali pakai yang semakin masif justru akan menambah persoalan baru. Semakin banyak produsen memproduksi galon sekali pakai maka akan semakin menggunung pula sampah plastik yang terkumpul.
KLHK juga menilai bahwa penggunaan galon sekali pakai merupakan kesalahan tafsir produsen terkait Peraturan menteri (Permen) LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah. Khususnya yang terkait dengan ketentuan ukuran kemasan yang diwajibkan minimal satu liter.
Kasubdit Tata Laksana Produsen KLHK, Ujang Solihin Sidik mengatakan kalau permen 75 dibuat bukan dalam arti produsen memproduksi galon sekali pakai. Dia menjelaskan, permen dibuat untuk menghindari kemasan yang terlalu kecil sehingga sulit untuk dikumpulkan.
Terbukti, ukuran galon sekali pakai ini telah menjadi persoalan bagi masyarakat untuk mengelola sampahnya. Ukuran yang terlalu besar membuat masyarakat kebingungan untuk mengumpulkan sampahnya setelah air di dalam habis dikonsumsi.
Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi menegaskan bahwa galon sekali pakai jelas akan menjadi masalah baru. Dia mengatakan, penggunaan galon sekali pakai juga tidak sejalan dengan target pemerintah mengurangi sampah di laut sebesar 70 persen di 2025.
Dia melanjutkan, produksi plastik sekali pakai yang begitu masif tanpa adanya tanggung jawab perusahaan justru akan mempersulit capaian dari target tersebut. Dia mengatakan, seharusnya industri mulai berbenah bagaimana mereka dapat menyusun rencana strategis dalam mengurangi timbulan sampah mereka.
"Bukan malah meningkatkan produksi kemasan produk sekali pakai. Selama dalam kemasan sekali pakai, masalah kita tentu akan semakin besar," katanya.
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan bahwa perusahaan seharusnya menerjemahkan permen 75 dengan lebih transformatif. Artinya, produsen harus berhenti memproduksi plastik sekali pakai dan beralih ke kemasan yang bisa dipakai berulang.
"Hal itu untuk menekan kebocoran plastik ke lingkungan kita, yaitu dengan cara harus menekan pertumbuhan atau konsumtif plastik sekali pakai," kata Peneliti ICEL, Fajri Fadillah.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menyayangkan keberadaan galon sekali pakai karena semakin menambah masalah lingkungan. Apalagi, kemasan plastik sekali pakai sangat membebani bumi karena sulit terurai.
"Kok ini malah memproduksi bahan plastik sekali pakai yang baru. Kita tidak mendukung produk kemasan semacam itu," kata Pengurus YLKI, Sularsi.
Menurut Sularsi, masyarakat tidak bisa diwajibkan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengolah sampah plastik yang ditimbulkan oleh bahan kemasan pangan yang diproduksi industri pangan. Seharusnya industri yang harus bertanggung jawab untuk menarik kembali kemasan plastik sekali pakai yang diproduksinya.
Masalah galon sekali pakai memerlukan perhatian serius untuk mewujudkan solusi berkelanjutan. Dengan kesadaran konsumen yang meningkat, dukungan pemerintah dan inovasi industri seharusnya dapat berjalan menuju arah yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi dampak negatif galon sekali pakai terhadap Bumi.
Hasil temuan Sensus Sampah Plastik (SSP) se-Indonesia tahun 2022-2023 di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi di Indonesia yang dipaparkan oleh Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) dalam konferensi pers di Surabaya, Kamis 11 Januari 2024, menempatkan Mayora Indah selaku Induk perusahaan AMDK galon sekali pakai sebagai Perusahaan pencemar plastik Nomor 5 di Indonesia. Sedangkan urutan satu sampai dengan empat diduduki oleh gabungan berbagai merek, disusul Wings, Unilever dan Indofood.
KEYWORD :Aktivis Lingkungan Walhi Galon Sekali Pakai Sampah Plastik KLHK