Rabu, 27/11/2024 09:23 WIB

Pengamat Ungkap Perbedaan Orba dan Neo Orba di Pemilu 2024

Istilah neo orba (orde baru) marak di kalangan akademisi dan politisi usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan batas usia capres-cawapres.

Pengamat politik Prof Muhammad Athoillah Shohibul Hikam

Jakarta, Jurnas.com - Pengamat politik Prof Muhammad Athoillah Shohibul Hikam atau Prof AS Hikam mengatakan ada perbedaan antara karakter orde baru dengan neo orde baru di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

AS Hikam menjelaskan, perbedaan pertama terletak pada sistem politik. Dikatakan Hikam, penguasa saat orde baru yang telah tumbang pada 1998 menggunakan military otoritarian sebagai senjata.

Sementara, lanjut Menteri Negara Riset dan Teknologi era Gus Dur itu, neo orba yang muncul saat ini cenderung menggunakan formal konstitusional demokrasi.

“Dari dua ini jelas ada perbedaan yang cukup kualitatif karena setidaknya karena neo atau yang disangka ini mempunyai semacam basis normatif sebagai konstitusional,” ujar Prof AS Hikam saat menjadi narasumber Diskusi Daring bertajuk Fenomena Neo Orba di Pilpres 2024: Demokrasi di Simpang Jalan?, Selasa 23 Januari 2024 malam.

Adapun istilah neo orba (orde baru) marak di kalangan akademisi dan politisi usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan batas usia capres-cawapres.

Putusan itu diduga sebagai upaya meloloskan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden di Pemilu 2024.

Istilah neo orba juga ramai diperbincangkan usai Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri menuding penguasa sekarang mirip pemerintahan Orba.

Lebih lanjut, perbedaan lainnya yang disampaikan AS Hikam ialah soal kebijakan pembangunan ekonomi. Di mana, orde baru menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang berbasis pada intervensi negara bercampur dengan kekuatan kapital swasta.

Sementara di zaman neo orde baru sekarang, lanjut dia, ada semacam restrukturisasi ekonomi  dan pembangunan ekonomi atau bisa disebut neoliberalisme.

“Dan ini sudah diikuti oleh hampir semua negara-negara yang ada di pinggir, di pusat maupun di seberang,” ucapnya.

Ketiga yaitu ideological hegemony yang dilakukan Presiden Jokowi yaitu memberi kebebasan interpretasi soal nilai Pancasila dan UUD 1945.

Dengan kata lain, jelas dia, upaya melanggengkan kekuasaan oleh Jokowi dilakukan melalui jalur-jalur konstitusional, berbeda dengan orde baru Soeharto yang banyak melanggar konstitusi.

“Walaupun di sini sempat ada upaya agar tafsir nilai pancasila ini dibangkitkan lagi,” tuturnya.

Dari penjelasan tersebjt, AS Hikam menilai bahwa Presiden Jokowi berupaya untuk membangun dinasti politik, tetapi dengan cara-cara yang berbeda dengan Soeharto. Hal ini juga yang kemudian membuat masyarakat terbagi, ada yang pro dan kontra.

Kegiatan diskusi ini digelar oleh Forum Intelektual Muda. Acara diskusi ini turut menghadirkan Pengamat Komunikasi Politik Hendri Subiakto, Pengamat Politik Moch AS Hikam dan Politisi Muda PDIP Setiawan sebagai narasumber. Sementara pesertanya adalah puluhan anak muda dan mahasiswa dari berbagai daerah. 

Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan, diskusi terkait dengan neo orba di Pilpres 2024 ini berangkat dari kegelisahan anak-anak muda terhadap penguasa yang berupaya membangun dinasti politik.

Menurut dia, dinasti politik jangan sampai terulang pada  Pilpres 2024. Hal ini karena membahayakan masa depan demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan rakyat secara merata.

“Forum intelektual muda ini sengaja menggelar diskusi ini karena banyak anak-anak muda yang gelisah akan kondisi bangsa kita hari ini, terutama dalam konteks Pilpres 2024,” pungkas Sutisna.

KEYWORD :

Pemilu 2024 Dinasti Politij Gibran Rakabuning Raka Presiden Jokowi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :