Rabu, 27/11/2024 07:31 WIB

Pakar Menilai Presiden Jokowi Cenderung Abuse of Power dalam Pemilu

Nyarwi Ahmad merespons soal pernyataan Ketua KPU RI yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi boleh mengajukan diri untuk berkampanye.

Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Dewan Pimpinan Pusat Indonesian Youth Conggress (DPP IYC) menggelar diskusi public secara daring dengan tema “Presiden Nyatakan Dirinya Boleh Kampanye dan Memihak: Abuse of Power?” pada Jumat, 26 Januari 2024.

Kegiatan diskusi ini dengan menghadirkan narasumber Pakar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad, Robi Nurhadi Pengamat Politik Universitas Nasional dan Praktisi Pemilu dan Demokrasi Neni Nurhayati.

Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh sejumlah mahasiswa, perguruan tinggi, organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan serta Masyarakat luas.

Nyarwi Ahmad merespons soal pernyataan Ketua KPU RI yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi boleh mengajukan dirinya berkampanye. Tetapi salah satu syaratnya dia mengajukan cuti.

“Pertanyaan berikutnya, Presiden mengajukan cuti kepada siapa? Apakah Presiden mengajukan cuti kepada dirinya sendiri? Padahal hanya ada satu presiden. Nah, hal-hal semacam ini saya pikir paradoks dan munculnya abuse of power. Artinya, terjadi penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan,” jelas Nyarwi Ahmad.

Menurut Nyarwi, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan itu dipilih langsung oleh rakyat. Di Indonesia, kata dia, pasca reformasi, itu tidak ada mekanisme mengecek atau mengevaluasi untuk bagaimana Presiden menggunakan kekuasaannya yang didapatkan melalui hasil pemilu itu.

Nyarwi menjelaskan, pada masa orde baru ada mekanisme untuk bagaimana Presiden melaporkannya kepada MPR. Namun saat itu, kata Nyarwi, banyak terlihat manipulasi terjadi.

"Kita melihat bagaimana banyak politisi yang dibesarkan oleh rezim Soeharto. Nah, kita sampai hari ini belum ada regulasi yang mengatur untuk bagaimana kekuasaan Presiden atau peran dan fungsi Presiden baik sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, akuntabilitasnya seperti apa, dan apakah benar seorang presiden itu bekerja untuk menjalankan tugas-tugas negara sepenuhnya 100 persen," kata dia.

Nyarwi pun menyoroti putra Presiden Jokowi menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2024.

"Bagaimana public melihat akuntabilitas Presiden? Tentu ini sulit terhindarkan," kata dia.

Masalahnya, kata Nyarwi, sejauh ini belum ada UU yang mengatur akuntabilitas bagi pejabat public dan pejabat politik seperti tahun pemilu seperti ini.

”Untuk memastikan hal tersebut public punya hak sebagai pemilik kedaulatan agar menjamin akuntabilitas Presiden dan pejabat public. Karena rakyat yang memilih Presiden. Hal ini dijamin dalam UUD Pasal 9 bahwa Presiden mempunyai sumpah janji jabatan di mana Presiden menjalankan tugas sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dan selurus-lurusnya,” pungkas Nyarwi.

Bahkan, kata Nyarwi, potensi abuse of power ini sulit terhindarkan oleh presiden. Sebab belum adanya regulasi yang mengatur secara khusus terkait akuntabilitas presiden.

Selai itu belum adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang lembaga kepresidenan dalam situasi pemilu atau dalam keadaan normal agar menjaga netralitas dan menjaga keberpihakan.

“Di tengah budaya politik Indonesia yang cenderung feodalistik seperti ini, orang-orang disekitar Presiden cenderung menempatkan presiden sebagai raja dalam system monarki, padahal kita ini menganut system demokrasi. Ini yang saya kira, godaan-godaan mengarah pada abuse of power ini sangat tinggi,” ujar Nyarwi.

Sementara itu, Perwakilan Indonesian Youth Congress Hasnu Ibrahim mengatakan, sebagai perkumpulan Kongres Pemuda Indonesia, dirinya berkewajiban untuk menjaga stabilitas politik, stabilitas sosial dan keberlangsungan konsolidasi demokrasi substantif di Indonesia.

Serta, lanjut Hasnu, menjamin Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasi dan jujur dan adil menuju pungut hitung pada 24 Februari 2024 nanti.

Indonesian Youth Congress, kata Hasnu, meyakini bahwa Pemilu Demokratis, Integritas dan Bermartabat hanya dapat dilahirkan dari 4 komponen penting.

Pertama, Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) yang Profesional. Artinya penyelanggara Pemilu yang “tidak nakal dan tidak genit” atau di bawah tekanan peserta pemilu atau rezim yang sedang berkuasa.

Kedua, peserta pemilu (Parpol, Tim Sukses dan Relawan) yang mengedepankan ide dan gagasan konkrit yang menyentuh persoalan public.

Ketiga, pemilih yang rasional. Tidak tergiur dengan “gimmick dan framing politik” yang menyesatkan, dan keempat, pemerintah (Presiden, Menteri, Lembaga Negara, Birokrasi/ASN, TNI. Polri, Gubernur, Bupati, dan Kepala Desa) yang cawe-cawe, nakal bahkan berlaku tidak netral.

“Kami mengajak kepada semua pihak agar mengawal secara ketat pelaksaan Pilpres 2024 mendatang. Dan kita mendorong agar Bawaslu dapat menggunakan secara baik kewenangannya untuk mengawasi netralitas Presiden, Menteri, TNI, Polri, Birokrasi, ASN, dan Kepala Desa agar tidak berpihak kepada capres-cawapres tertentu,” pungkas Hasnu.

KEYWORD :

Pemilu 2024 Dinasti Politik Presiden Jokowi Presiden Kampanye




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :