Diskusi daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin (5/2/2024) malam.
Jakarta, Jurnas.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi terus mendapatkan sorotan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama dari kelompok akademisi dan aktivis demokrasi.
Hal itu disebabkan tingginya tensi Pemilu 2024 karena adanya dugaan rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya meloloskan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Lolosnya Gibran sebagai cawapres di Pemilu 2024 berdampak pada Anwar Usman yang juga paman Gibran Rakabuming Raka yang dipecat dari jabatan Ketua MK.
Demikian pula dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang diberikan sanksi berupa teguran keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Baik Anwar Usman maupun Hasyim Asy’ari, keduanya terbukti melanggar kode etik yang melekat pada jabatannya.
Mwnyikapi hal itu, Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El-Guyanie mengatakan, rezim Jokowi lebih parah dari rezim Soeharto.
“Kalau Soeharto wajar, dia tidak dibatasi oleh konstitusi, karena konstitusi sebelum amandemen. Karena tidak pernah ada batasan, tidak pernah ada norma yang membatasi Presiden berapa periode, hanya menyebut Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali. Tapi tidak lupa konstitusi itu membatasi beberapa kali,” kata Gugun El-Guyanie dalam Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin 5 Februari 2024 malam.
Sementara Jokowi, lanjut Gugun, karena lahir dari UU pasca amandemen, aturannya tegas bahwa Presiden dipilih lima tahun sekali dan tidak dapat dipilih kembali setelah menjabat dua periode.
Namun, Jokowi disebut mau mengamandemen UUD 1945, menambah jabatan presiden menjadi 3 periode. Teranyar adalah mengabulkan batas usia capres menjadi di bawah 40 tahun bagi kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu di MK.
“Itu dilakukan dengan cara meruntuhkan lembaga atau the garden of konstitusi,” kata Sekretaris Prodi Hukum Tata Negara di UIN Yogya ini.
Gugun menegaskan hasrat kekuasaannya melebihi Presiden Soeharto. Di mana, Ketua MK Anwar Usman dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari disidang karena etik imbas dari permainan politik Jokowi.
Tak hanya soal Pemilu, Jokowi juga secara nyata telah mengutak atik KPK dengan merevisi UU tentang pemberantasan korupsi. Padahal, KPK adalah salah satu lembaga yang mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat.
“Sikap Jokowi ini jelas merusak muruah KPK,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia diambang kehancuran, akibat segelintir orang. Mereka berupaya menekan kekuatan rakyat agar tidak mengambil peranan di Pemilu 2024.
“Padahal kita tahu bahwa demokrasi itu ya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rasanya itu jauh dari semangat penguasa saat ini,” ujarnya.
Melalui diskusi bersama kelompok pemuda dan mahasiswa, Sutisna ingin mendorong agar ikhtiar menjaga demokrasi terus dilakukan. Baginya, akal sehat dan idealisme harus terus dipertahankan agar kemajuan Indonesia tidak terhambat oleh praktik KKN, yang mulai terlihat di negeri ini.
“Kita akan terus berdiskusi mengkritisi yang salah dari perjalanan demorkasi kita,” pungkasnya.
Diketahui, Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda menghadirkan Pemerhati Sosial Politik Surya Fermana, Akademisi UIN Sunan Kalijaga El Guyanie dan Aktivis 98 Prijo Wasono sebagai narasumber. Hadir pula puluhan pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia sebagai peserta dalam diskusi tersebut.
KEYWORD :Seruan Moral Bergema Pemilu 2024 Presiden Jokowi Dinasti Politik