Jakarta, Jurnas.com - Koaksi Indonesia bersama Humanis dan beberapa Koalisi menggelar diskusi forum masyarakat sipil, menyambut peluncuran film “Climate Witness” bertajuk Ekspresi Aksi Iklim Bersama Masyarakat Urban di Jakarta, baru-baru ini.
Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia, menjelaskan Koaksi Indonesia sudah dua kali memproduksi film “Climate Witness”, keduanya mengisahkan aksi iklim lokal di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Proses pembuatan film ini, menurut Verena, Humanis bertindak sebagai produser eksekutif, sementara Koaksi Indonesia sebagai produser pelaksana. Film ini juga didukung oleh Koalisi Sipil, Koalisi Adaptasi, Koalisi Kopi, serta Koalisi Pangan Baik.
Fadel Muhammad Ajak Generasi Muda Hindari Banyak Rebahan, Harus Aktif Maksimalkan Potensi
“Tahun lalu, film ini diputar di 40 titik seluruh Indonesia, “Climate Witness” berbasis aksi iklim lokal, yang akhirnya menjadi pemantik untuk kampanye bersama,” jelas Verena sebagaimana keterangan tertulis yang diterima redaksi, Senin (1/4).
Acara yang digelar di Semanggi ini turut mengundang empat narasumber, di antaranya Vera Nofita, Ketua Bank Sampah Gunung Emas; Muhammad Maulana Malikul Ikram, Direktur Riset dan Pengembangan PT Biops Agrotekno Indonesia; Syifa Fauziyyah, Sustainability Manager Teens Go Green Indonesia; serta Ridwan Arif, Koordinator Program VCA Koalisi Sipil, Koaksi Indonesia.
Dorong Pengembangan Diri Generasi Muda untuk Tingkatkan Ekonomi Kreatif di Berbagai Daerah
Membuka diskusi, Ridwan Arif menjelaskan Program VCA (Voices for just Climate Action) terdapat di 7 negara, yaitu Bolivia, Paraguai, Brazil, Tunisia, Kenya, Zambia, serta Indonesia. Dan Koaksi Indonesia tergabung dalam aliansi ini dengan diketuai oleh Yayasan Humanis.
Ridwan menjelaskan, VCA memiliki beberapa program berupa pengembangan kapasitas, membangun narasi bersama, dan memperkuat masyarakat sipil untuk memengaruhi kebijakan.
“Salah satu aktivitas yang dilakukan Koaksi Indonesia, yaitu pembuatan film, mendokumentasikan dan memublikasikan praktik baik. Memberi gambaran bahwa masyarakat lokal melakukan aksi-aksi iklim,” jelas Ridwan.
Ridwan menyampaikan film “Climate Witness” akan disebarluaskan tidak hanya di NTT, tetapi di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
“Harapannya, kisah-kisah ini dapat membangkitkan semangat nasional dari tingkat tapak. Film ini jadi pemantik semangat wilayah lain di Indonesia, kita kemas untuk bahan advokasi kebijakan terkait iklim di tingkat lokal dan nasional,” ujar Ridwan.
Ridwan mengatakan, masyarakat mempunyai peran besar terkait permasalahan iklim dan lingkungan. Sebab, setiap orang memiliki ekosistemnya sendiri yang harus dirawat. Urban dan rural berbeda, dampaknya pun berbeda-beda.
Melengkapi semangat aksi iklim di NTT, Vera Nofita mengisahkan perjalanan Bank Sampah Gunung Emas, peraih penghargaan bank sampah terbaik nasional 2023 dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.
Vera Nofita mengatakan, Bank Sampah Gunung Emas sejak 2014 melakukan aksi iklim dengan mengedukasi masyarakat, khususnya ibu rumah tangga untuk peduli lingkungan dengan memilah sampah.
Menurut Vera, pendekatan yang dilakukan mulai dari memberdayakan ibu rumah tangga di lingkup RT, RW, sekolah, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat.
“Awalnya, saya mengajak para perempuan, ibu rumah tangga, tidak bekerja, namun tetap bisa produktif dengan menghasilkan uang dari sampah. Sebagian besar golongan berpenghasilan Rp 50 ribu per minggu, saya dorong mereka menabung, menabung sampah,” ujar Vera.
Vera memaparkan tujuan aksinya untuk membuka pola pikir khususnya para perempuan, untuk mengatur hidup maka kelolalah sampah.
Menurutnya, penghasilan mitra bank sampah ada yang mencapai Rp 2 juta per bulan. Mengenai aturan, pemerintah sudah hadir melalui beberapa kebijakan, peraturan tersebut bahkan spesifik mengatur pengelolaan dan pemilahan sampah rumah tangga.
Selanjutnya, Vera menyampaikan kemitraan Bank Sampah Gunung Emas dengan WWF melalui program Plastic Smart Cities.
“WWF punya program Plastic Smart Cities untuk pengolahan sampah plastik dari hulu ke hilir, masyarakat tidak bisa lepas dari plastik, bagaimana sampah plastik diolah. Itu lah pendampingan yang diberikan WWF, hingga sampah plastik menjadi produk layak jual,” tutup Vera.
Mendekati waktu berbuka puasa, acara semakin hangat dengan kehadiran Syifa Fauziyyah yang membagikan semangat anak muda dalam aksi iklim yang dilakukan Teens Go Green Indonesia.
Syifa menyampaikan, organisasi anak muda yang berdiri pada 2007 ini awalnya diinisiasi oleh beberapa pihak, NGO dan pemerintah, bersama anak-anak SMA.
“Anak-anak muda ini awalnya diajak mengenal alam, baru masuk ke masalah terkait lingkungan. Kita belajar mencari solusi baru melakukan aksi langsung,” kata Syifa.
Kemudian, Syifa mengatakan untuk Jakarta saja, tiap wilayah punya permasalahan masing-masing, dia memberi contoh Jakarta Utara berpotensi mengalami banjir rob, di Jakarta Timur masalahnya berbeda lagi.
“Meski begitu masalah utama adalah sampah, masalah pilah sampah sangat krusial dan berdampak pada terjadinya banjir,“ ujar Syifa.
Syifa menjelaskan, beberapa tahun ke belakang, permasalahan yang diterima anak muda adalah stigma, menurutnya muncul pernyataan, “anak muda peduli apa sih?”, “anak muda bisa apa sih?”. Mendapati stigma tersebut justru memunculkan rasa ketidakpedulian pada diri anak muda.
Padahal peran anak muda sangat penting, Teens Go Green memfasilitasi program-program anak muda terkait lingkungan, bahkan memberikan beasiswa. Praktik baik yang dilakukan di antaranya kegiatan penyebaran kerang hijau di pesisir Jakarta, penanaman mangrove di Kepulauan Seribu, dan transplantasi terumbu karang.
Syifa menambahkan, anak muda punya cara yang berbeda menanggapi perubahan iklim. Salah satu wujudnya dengan membuat video terkait isu lingkungan hasil interaksi langsung dengan masyarakat.
“Kemampuan teknologi dan berjejaring itulah kekuatan yang dimiliki oleh anak muda dan Teens Go Green akan terus mendorong,” tutup Syifa.
Memperkaya diskusi, Muhammad Maulana Malikul Ikram memaparkan praktik baik Biops Agrotekno Indonesia dalam aksi iklim melalui konsep pertanian presisi.
Malikul menyampaikan, Biops Agrotekno Indonesia ingin membawa era baru pertanian di Indonesia, bahwa menjadi petani itu keren.
“Saya melihat di Indonesia pertanian 3.0 aja belum, tapi pelan-pelan ke arah sana. Mengupayakan pertanian bisa jadi industri, para petani adalah pelaku bisnis. Bagaimana caranya mereka nggak kerja hanya untuk makan, tapi berkembang lebih besar lagi. Semua butuh waktu, kita bergerak bersama, dengan teknologi petani tidak rugi, kami mengedukasi pola pikir investasi,” ujar Malikul.
Malikul kemudian memaparkan Biops sudah melakukan praktik baik di pesisir Pulau Semau, Kupang, menerapkan teknologi untuk membantu mendistribusikan air secara merata.
KEYWORD :Koaksi Indonesia aksi iklim generasi muda masyarakat urban Climate Witness