Kamis, 27/06/2024 07:20 WIB

Filep Minta Penegak Hukum Jangan Tutup Mata Masalah CSR BP Tangguh

Menurut Filep, hingga tahun 2019, tidak pernah dilakukan audit terhadap Subitu.

Pimpinan Komite I DPD RI Filep Wamafma. Foto: dok. jurnas

JAKARTA, Jurnas.com - Sejumlah program BP LNG Tangguh mulai dipertanyakan publik belakangan ini. Sorotan tajam tertuju pada program-program yang didanai dari CSR dan merupakan bagian cost recovery yang berhulu pada Dana Bagi Hasil (DBH), misalnya sejumlah PT Subitu di Bintuni.

Terkait persoalan ini, senator asal Provinsi Papua Barat, Filep Wamafma, angkat bicara dan membuka kembali hasil advokasinya.

“Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih satu tahun, saya bekerja keras mengadvokasi masyarakat adat Bintuni, terkait hak-hak dasar mereka yang menurut saya tidak mereka peroleh dari beroperasinya LNG Tangguh. Saya menemukan bahwa transparansi penggunaan dana CSR sebagai cost recovery di LNG Tangguh tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, khususnya kalau kita bicara soal Subitu,” ujar Filep melalui keterangan resminya, Rabu (19/6/2024).

Filep menjabarkan bahwa dirinya telah menemukan sejumlah fakta di lapangan yang justru berbanding terbalik dengan klaim BP Tangguh. Dalam komitmen AMDAL terdapat kesepakatan terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat asli Bintuni lewat pendirian empat perusahaan berbendera Subitu yaitu Subitu Karya Busana (SKB), Subitu Inti Konsultan (SIK), Subitu Karya Teknik (SKT) dan Subitu Trans Maritim (STM).

“Semua Subitu ini menyedot anggaran cukup besar, melibatkan banyak mitra kerja seperti Unipa, Ikopin, Pupuk, Yayasan Satu Nama, Yayasan Matsushita. Peresmian dan promosinya diselenggarakan secara besar-besaran. Tapi apakah hasilnya sepadan?” tanya Filep.

Pimpinan Komite I DPD RI ini bahkan mengklaim memiliki data yang cukup lengkap terkait keberadaan Subitu. Ia pun menyebutkan bahwa terdapat tiga persoalan mendasar berkaitan dengan masalah Subitu ini.

“Saya punya data yang menurut saya cukup lengkap dan valid terkait Subitu. Ada tiga 3 masalah besar yang dapat saya simpulkan. Pertama, tentu saja soal transparansi. Coba periksa laporan keuangan Subitu, apakah neracanya seimbang? Jangan sampai ternyata sudah merugi tetapi diam-diam saja. Lalu, produksi pakaian dari Subitu Karya Busana (SKB), mampu berapa? Jangan sampai di balik itu ada permainan lain juga,” ujarnya.

Kedua, sambung Filep, persoalan akuntabilitas. Siapa yang bertanggung jawab terhadap Subitu? Adanya empat perusahaan Subitu.

“Pertanyaannya, siapa saja Komisaris di empat PT Subitu ini? Bagaimana kepemilikan modalnya? Kapan dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)? Pernahkah ke empat PT Subitu tersebut diaudit oleh Auditor Publik? Siapa jajaran Direksi dari ke empat PT Subitu? Bagaimana mekanisme membayar jajaran direksi dan dananya darimana? Lalu, sejak didirikan tahun 2015 hingga kini, sebagian besar unit bisnis Subitu bahkan masih disubsidi gaji dari BP menggunakan cost Recovery yaitu DBH Migas,” tegasnya.

Persoalan ketiga adalah soal kontinuitas atau keberlanjutannya. Salah satu contoh, ia menyinggung terkait kapal-kapal dari Subitu Trans Maritim (STM) apakah masih beroperasi normal dengan normal atau Subitu Mart, bagaimana kinerja keberlanjutannya.

Bahkan Filep mengutarakan bahwa sejak didirikan, PT-PT Subitu ini didampingi oleh PUPUK yakni sebuah lembaga pendamping UMKM, bukan untuk bisnis skala besar. Lembaga ini dibayar mahal, mendapat fasilitas penerbangan PP Jakarta-Bintuni.

Menurut Filep, jika dilihat dari sisi ekonominya, maka manfaat ekonomi yang didapat adalah untuk konsultan dan bukan untuk masyarakat Bintuni.

“Kini BP menggunakan konsultan pengganti PUPUK. Apakah 9 tahun PT-PT Subitu didirikan hingga kini masih terus didampingi konsultan? Lalu sampai kapan PT-PT ini bisa mandiri?” tegasnya.

Terkait tiga masalah di atas, Filep meminta segera ada audit eksternal independen, mengingat operasional Subitu memakai DBH Migas.

Ia pun mendorong agar penegak hukum, terutama Kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), segera turun ke lapangan untuk memeriksa dan mengaudit kemana ujungnya semua dana yang dikelola Subitu, termasuk mengenai transparansi dan akuntabilitas serta kontinuitasnya.

Menurut Filep, hingga tahun 2019, tidak pernah dilakukan audit terhadap Subitu.

Filep menyebutkan alasan perlu audit Subitu. Pertama, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ditetapkan bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

“Jika ada indikasi korupsi ataupun tindak pidana ekonomi  maka jelas Kejaksaan bisa turun tangan. Dasarnya juga ada dalam Pasal 282 ayat (2) KUHAP. Ada uang negara di sana karena dikeluarkan dalam wujud DBH,” jelasnya.

Kedua, adanya kesenjangan yang cukup signifikan di Bintuni, jika dikaitkan dengan kiprah BP Tangguh. Misalnya persoalan air bersih yang menyebabkan masyarakat menderita penyakit, persoalan stunting, persoalan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang buruk, angka kemiskinan yang naik, rekrutmen tenaga kerja orang asli Papua yang minim dan hanya di sekitar unskilled labour, ketidakjelasan pengelolaan dana abadi, dan berbagai hal lain di lapangan.

“Khusus untuk audit BPK, UU Nomor 26 Tahun 2009 terkait APBN 2009, menugaskan BPK untuk melakukan audit atas kewajaran unsur biaya dalam cost recovery sejak tahun 1997, dan apabila terdapat temuan ketidakwajaran, maka BPK wajib melaporkan estimasi besaran kerugian negara yang timbul, termasuk kerugian daerah dalam kerangka bagi hasil untuk dapat ditindaklanjuti,” kata Filep lagi.

Senator yang terpilih kembali pada Pileg 2024 ini juga meminta KPK untuk turun tangan. Menurutnya, persoalan pengelolaan anggaran ini harus diusut hingga ke akarnya demi transparansi dan keadilan.

KEYWORD :

BP Tangguh Subitu Penegak hukum Filep Wamafma




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :