Jum'at, 22/11/2024 22:01 WIB

Deklarasi Paket Pimpinan LaNyalla Cs Dinilai Berpotensi Penyimpangan Hukum dan Etika

Konsep paket pimpinan DPD tidak disebutkan dalam tata tertib DPD RI. Selain itu, konsep paket pimpinan itu juga berpotensi terjadi penyimpangan hukum dan etika.

Senator asal Papua Barat, Filep Wamafma. Foto: dok jurnas.com

JAKARTA, Jurnas.com - Sejumlah Anggota DPD RI terpilih periode 2024-2029 melakukan deklarasi paket pimpinan untuk pemilihan pimpinan DPD RI pada 1 Oktober 2024 mendatang.

Deklarasi tersebut mendukung empat orang sebagai pimpinan DPD RI periode 2024-2029, yakni La Nyalla Mattalitti sebagai ketua, kemudian Nono Sampono, Tamsil Linrung, dan Elviana masing-masing sebagai wakil ketua.

Acara deklarasi ini dihadiri beberapa tokoh nasional, diantaranya Wakil Presiden ke-6 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Mantan Ketua DPD Oesman Sapta Odang, Mantan Anggota DPD yang kini Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Djan Faridz, dan Mantan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.

Sementara, Anggota DPD Dapil Jawa Barat terpilih yang juga komedian Alfiansyah Komeng didapuk menjadi pembawa acara.

Menyikapi adanya deklarasi paket pimpinan DPD RI ini, Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma berpendapat konsep paket pimpinan DPD tidak disebutkan dalam tata tertib DPD RI. Selain itu, konsep paket pimpinan itu juga berpotensi terjadi penyimpangan hukum dan etika.

“Secara pribadi saya ucapkan selamat dan sukses atas deklarasi ini. Akan tetapi, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan sebagai koreksi, untuk direnungkan dan dievaluasi atas nama DPD RI. Pertama, apakah ada dasar hukum soal sistem paket pimpinan untuk pemilihan pimpinan DPD RI Periode 2024-2029? Sepanjang pengetahuan saya, Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib DPD RI, tidak pernah menyebutkan konsep ‘paket’ pimpinan,” ujar Filep dalam keterangannya, Senin (24/6/2024).

Filep menerangkan, konsep paket pemilihan pimpinan DPD RI memang telah diatur dalam rancangan perubahan Tatib yang telah dikerjakan oleh Pansus Tatib maupun Timja Tatib. Akan tetapi, rancangan ini belum dapat dijadikan sebagai dasar hukum melakukan segala aktivitas termasuk deklarasi pimpinan DPD RI dengan sistem paket,” sambungnya.

Tak hanya itu, Filep menekankan perihal keputusan DPD RI khususnya menyangkut mekanisme Pemilihan Pimpinan DPD RI. Ia mengingatkan bahwa Pasal 46 ayat (1) Tatib menegaskan bahwa susunan Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang Ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua meliputi Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, dan Wakil Ketua III yang mencerminkan keseimbangan wilayah dan bersifat kolektif kolegial.

Menurut Filep, kolektif kolegial itu bukan paketan, karena harus memperhatikan keterwakilan wilayah di Pasal 48, ada bakal calon dari sub-sub wilayah diatur dalam Pasal 50, yang mendapatkan minimal dukungan dari 7 anggota yang berasal dari 5 provinsi yang berbeda di sub wilayah tersebut termuat dalam Pasal 51.

Meskipun ada perubahan keputusan DPD RI terkait perubahan Tatib, masih ada lagi penerimaan dalam Sidang Paripurna terkait hasil kerja Pansus dan Timja Tatib, baru kemudian disahkan dalam peraturan DPD RI.

“Pada saat itulah baru secara otomatis pula semua anggota wajib patuh melaksanakannya, termasuk sistem paket. Jadi, memunculkan paket pimpinan dalam deklarasi boleh jadi merupakan penyimpangan hukum Tatib DPD RI yang sudah seharusnya dihargai, dihormati, dan dilaksanakan oleh semua anggota,” kata Filep lagi.

Lebih lanjut, Pimpinan Komite I DPD RI ini menegaskan kembali kedudukan hukum anggota DPD RI  sesuai putusan MK. Ia menyebutkan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 telah menegaskan mengenai dengan status calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang terpilih memang belum melekat pada hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang bersangkutan.

“Nah, perlu diingat bersama bahwa ada legitimasi secara hukum formal mengenai kedudukan hukum semua anggota DPD, yang didasarkan pada Keputusan KPU tentang calon terpilih, Keppres RI terkait pelantikan. Inilah yang melegitimasi kedudukan hukum serta hak dan kewajiban bagi setiap anggota DPD RI,” tegas Filep lagi.

Di kesempatan yang sama, senator Filep juga menyebutkan indikasi yang merujuk pada adanya pelanggaran etis terkait deklarasi paket pimpinan ini lantaran hingga saat ini belum ada penetapan.

Ia menyampaikan,  dalam teori Etika Kantian, yang dipelopori Immanuel Kant, penekanan sisi etis terletak pada etika yang peduli pada bukan apa yang kita lakukan, melainkan apa yang harus kita lakukan (not about what we do, but what we ought to do). Harus ada hubungan erat antara kepatuhan (dutifulness) dan keinginan luhur (good will).

“Dalam peristiwa deklarasi ini, tentu dipertanyakan apakah ada kepatuhan terhadap aturan dan apakah benar kepatuhan itu diikuti oleh niat baik atau keinginan yang luhur? Jangan sampai ini mengikuti ambisi saja. Maka menjadi penting di sini dalam Etika Kantian adalah hasil dari suatu keadaan bukanlah tujuan utama, melainkan aturan yang melatar belakangi tindakan adalah hal yang paling penting,” sebutnya.

“Kita harus paham betul bahwa sampai saat ini KPU belum menetapkan calon DPD terpilih, karena KPU saat ini masih menindaklanjuti Putusan MK atas PHPU Legislatif kurang lebih ada 44 perkara yang dikabulkan sebagian ataupun sepenuhnya. Oleh sebab itu, saya meminta agar Badan Kehormatan memantau dan memeriksa hal ini, karena boleh jadi ada indikasi pelanggaran etika, terutama jika ada ajakan dari anggota DPD RI kepada calon anggota terpilih DPD RI untuk ikut dalam Deklarasi ini. Harapannya adalah bahwa calon pimpinan DPD RI harus patuh terhadap hukum dan etik, dan sebagai teladan bagi calon-calon anggota DPD RI terpilih, bukan sebaliknya,” pungkas Filep.

KEYWORD :

Paket pimpinan DPD DPD RI Filep Wamafma




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :