Minggu, 08/09/2024 02:14 WIB

OPINI

PKB, Tantangan Ekonomi Politik dan Demokratisasi di Indonesia

Sejak berdiri pada 23 Juli 1998, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah memainkan peranan penting dalam kancah politik nasional.

M. Hanif Dhakiri, Wakil Ketua Umum DPP PKB (Foto: Ist)

Catatan Refleksi 26 Tahun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

oleh:

M. Hanif Dhakiri
Wakil Ketua Umum DPP PKB


Jakarta, Jurnas.com - Sejak berdiri pada 23 Juli 1998, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah memainkan peranan penting dalam kancah politik nasional. Sebagai partai yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan para kiai, PKB mengemban visi memperjuangkan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan.

Selama 26 tahun perjalanan politiknya, PKB telah menghadapi berbagai tantangan ekonomi politik dan proses demokratisasi yang dinamis di tanah air.

Transformasi PKB Menjadi Partai Nasional

PKB telah mengalami transformasi signifikan dari partai berbasis agama menjadi partai yang lebih inklusif dan nasionalis. Di bawah kepemimpinan Ketua Umum Gus Muhaimin Iskandar, PKB berhasil memperluas basis dukungannya ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia, melampaui basis primordial dan teritorial. Transformasi ini sejalan dengan teori `catch-all party` yang dikemukakan Otto Kirchheimer, di mana partai politik berupaya menarik dukungan lebih luas dari berbagai kelompok sosial dan kepentingan.

Kirchheimer menjelaskan bahwa dalam upaya menarik dukungan luas, sebuah partai harus mengubah fokus dari isu-isu sektoral menjadi isu-isu yang lebih umum dan relevan bagi sebagian besar masyarakat. Melalui tangan dingin Gus Muhaimin, PKB mengembangkan berbagai program yang tidak hanya fokus pada isu-isu keagamaan tetapi juga isu-isu nasional seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ini mencerminkan pendekatan catch-all yang mengintegrasikan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas.

Gus Muhaimin memainkan peran penting dalam mengarahkan transformasi ini dengan memperkenalkan program-program yang bertujuan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), meningkatkan kualitas pendidikan, memperbaiki layanan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Di bawah kepemimpinannya, PKB berupaya untuk menjadikan partai ini relevan bagi seluruh masyarakat Indonesia, tidak terbatas pada basis tradisionalnya seperti pesantren dan komunitas Nahdliyyin. Basis kulturalnya tetap terjaga, tetapi terobosan politik baru juga menjangkau komunitas yang lebih luas dan majemuk. Strategi ini mencerminkan `electoral pragmatism` yang mengutamakan fleksibilitas ideologi demi mencapai tujuan elektoral.

Perjalanan PKB dari pemilu ke pemilu juga mencerminkan transformasi ini. Setelah mengalami rebound pada pemilu 2014 dengan 9,04% suara dan 47 kursi di DPR, PKB terus melaju dan memperkuat posisinya dengan 9,69% suara nasional (13 juta suara) dan 58 kursi DPR. Pada pemilu 2024, PKB mengokohkan eksistensinya dengan lebih dari 16 juta suara nasional (10,6%) dan 68 kursi DPR (11,7%) dari total kursi tersedia.

Bahkan lebih fenomenal lagi, PKB berhasil mendudukkan Ketua Umum Gus Muhaimin sebagai Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden yang diusung Koalisi Perubahan (Nasdem, PKB dan PKS). Hasil pemilu 2024 menandai transformasi PKB sebagai partai nasional dengan basis yang hampir merata di seluruh wilayah, meruntuhkan tudingan bahwa PKB adalah partai Jawa. Kini, basis PKB cukup merata di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bagian Timur Indonesia.


Tantangan Ekonomi Politik

Salah satu tantangan utama yang dihadapi PKB adalah menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Teori ekonomi politik menawarkan berbagai perspektif tentang bagaimana kebijakan ekonomi dapat dirancang untuk mencapai keseimbangan ini. Misalnya, teori `trade-off` antara efisiensi dan redistribusi yang seringkali menjadi dilema bagi pemerintah dan partai politik. Menurut teori ini, kebijakan yang terlalu berfokus pada efisiensi ekonomi dapat mengabaikan kebutuhan redistribusi yang penting untuk mencapai keadilan sosial.

PKB harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif sambil memastikan bahwa manfaat dari pertumbuhan tersebut dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini sejalan dengan teori `inclusive growth` yang menekankan pentingnya partisipasi seluruh kelompok masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi. Inclusive growth mengacu pada model pembangunan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga pada bagaimana distribusi manfaat dari pertumbuhan tersebut.

Dalam konteks ini, PKB berupaya mendorong kebijakan yang adil dan merata, seperti program bantuan sosial, peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi desa.

Teori Marxis menawarkan kritik terhadap struktur ekonomi kapitalis yang cenderung menghasilkan ketimpangan. Karl Marx berpendapat bahwa kapitalisme secara inheren menciptakan kelas-kelas sosial yang tidak seimbang dan menindas kelas pekerja. Dalam konteks ini, PKB perlu merumuskan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada upaya redistribusi kekayaan dan kekuasaan. Kebijakan seperti reforma agraria dan perlindungan hak-hak buruh menjadi penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Selain itu, PKB juga dihadapkan pada tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Dari perspektif ekonomi politik internasional, globalisasi dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi antarnegara dan di dalam negara. Dalam konteks ini, PKB perlu merumuskan strategi untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi, seperti deindustrialisasi dan ketidakstabilan pasar tenaga kerja, sambil memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh integrasi ekonomi global. Globalisasi dapat meningkatkan daya saing ekonomi, namun juga memerlukan kebijakan yang dapat melindungi sektor-sektor yang rentan terhadap persaingan global.

Teori `comparative advantage` David Ricardo menunjukkan bahwa globalisasi dapat memberikan keuntungan ekonomi melalui spesialisasi dan perdagangan internasional. Namun, Ricardo juga menekankan bahwa tidak semua sektor ekonomi akan mendapatkan manfaat yang sama. Dalam konteks ini, PKB perlu mengembangkan kebijakan yang melindungi sektor-sektor yang rentan dan memastikan bahwa manfaat globalisasi dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Tantangan Demokratisasi

Proses demokratisasi di Indonesia setelah reformasi 1998 telah membawa banyak perubahan positif, tetapi juga menghadirkan tantangan baru. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa demokrasi berjalan secara substansial dan bukan hanya prosedural. Jürgen Habermas menggariskan dalam teori demokrasi deliberatif bahwa demokrasi harus mencakup partisipasi aktif dan deliberasi publik yang bermakna. Demokrasi deliberatif mengacu pada proses di mana keputusan politik dibuat berdasarkan diskusi dan partisipasi warga negara yang berpengetahuan dan berargumen secara rasional.

PKB, dengan basis massa yang kuat di kalangan NU, memiliki potensi besar untuk mendorong demokrasi yang partisipatif. Namun, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana melibatkan masyarakat akar rumput dalam proses pengambilan keputusan politik. Demokrasi yang hanya berfokus pada pemilihan umum tanpa partisipasi aktif dari masyarakat dapat menghasilkan kebijakan yang tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat. Oleh karena itu, PKB harus terus berupaya untuk mengedukasi dan memberdayakan masyarakat agar lebih aktif terlibat dalam proses politik.

Dari perspektif kiri, Antonio Gramsci menekankan pentingnya `hegemoni budaya` di mana kelas pekerja harus membangun kesadaran politik dan budaya untuk menantang dominasi kelas penguasa. Dalam konteks ini, PKB dapat memainkan peran penting dalam membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat akar rumput melalui pendidikan politik dan pemberdayaan komunitas.

Salah satu fenomena yang mengancam kualitas demokrasi di Indonesia adalah kecenderungan erosi demokrasi. Teori erosi demokrasi menggambarkan bagaimana demokrasi secara perlahan kehilangan elemen-elemen esensialnya seperti kebebasan sipil, partisipasi politik yang bermakna, dan penghormatan terhadap hukum. Fenomena ini dapat terjadi melalui kebijakan represif, manipulasi institusi demokratis, dan penurunan kualitas partisipasi publik. PKB harus waspada terhadap tanda-tanda erosi demokrasi ini dan berkomitmen untuk melawan setiap upaya yang dapat merusak demokrasi substantif di Indonesia.

Selain itu, PKB juga harus menghadapi tantangan politik identitas yang seringkali mengancam kohesi sosial dan stabilitas politik. Teori konflik identitas menunjukkan bahwa politik identitas dapat memicu ketegangan dan fragmentasi sosial jika tidak dikelola dengan baik. Dalam konteks ini, PKB perlu terus mengedepankan politik inklusif yang menghargai keberagaman dan memperkuat persatuan nasional. Politik identitas yang positif atau berwatak inklusif dapat memperkuat identitas nasional yang inklusif dan mengurangi potensi konflik sosial.

Samuel Huntington dalam bukunya "The Clash of Civilizations" menggambarkan bagaimana perbedaan identitas budaya dan agama dapat menjadi sumber konflik. Oleh karena itu, PKB harus terus berupaya mengelola perbedaan ini dengan mempromosikan nilai-nilai inklusif dan dialog antarbudaya. Strategi ini sejalan dengan teori "multiculturalism" yang menekankan pentingnya pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman dalam sebuah masyarakat.

Kesimpulan

Tantangan ekonomi politik dan demokratisasi di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan strategis. PKB, dengan sejarah dan komitmennya, memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Transformasi PKB menjadi partai nasional di bawah kepemimpinan Gus Muhaimin Iskandar menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat dan komitmen yang kuat, PKB dapat terus berkontribusi dalam menciptakan ekonomi yang inklusif dan demokrasi yang berkeadilan di Indonesia.

KEYWORD :

PKB Partai Kebangkitan Bangsa Tantangan Ekonomi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :