Selasa, 17/09/2024 02:24 WIB

Aktivis 98 Dorong Petisi Pembentukan Pengadilan HAM Berat Tuntaskan Peristiwa 27 Juli

Para korban, aktivis, akademisi, kelompok civil society dan pro demokrasi menyampaikan petisi bahwa untuk menyelesaikan peristiwa kelam 28 tahun lalu itu dibutuhkan segera dibentuk pengadilan HAM Berat adhoc untuk mengadili aktor-aktor pelaku peristiwa 27 Juli 1996.

Aktivis 98 sekaligus Ketua Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Mustar Bonaventura. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com -  Front Penyelamat Reformasi Indonesia menggelar diskusi publik dengan tema "Masa Gelap Demokrasi Sabtu Kelabu 27 Juli 1996" di Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 27, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu sore (28/7).

Ketua Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Mustar Bonaventura mengatakan, peristiwa yang terjadi sekitar 28 tahun lalu itu sesungguhnya sangat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tindakan represif dipertontonkan secara terang-terangan dan korban banyak berjatuhan.

“Peristiwa itu juga sebagai tanda secara terbuka terjadi pembunuhan terhadap demokrasi dari elit penguasa saat itu. Peristiwa yang terjadi sebelum jatuhnya rezim orde baru itu adalah peristiwa kelam yang hingga kini belum mendapatkan keadilan,” tegas Mustar.

“Padahal peristiwa tersebut adalah peristiwa bersejarah awal mula perjuangan kembalinya  demokrasi diperjuangkan secara militan oleh seluruh lapisan rakyat,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Mustar mengatakan jika para korban, aktivis, akademisi, kelompok civil society dan pro demokrasi menyampaikan petisi bahwa untuk menyelesaikan peristiwa kelam 28 tahun lalu itu dibutuhkan segera dibentuk pengadilan HAM Berat adhoc untuk mengadili aktor-aktor pelaku peristiwa 27 Juli 1996.

“Rezim Jokowi gagal menegakan keadilan dan gagal menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan bermesraan dengan para aktor peristiwa 27 Juli 1996. Kami akan terus berjuang untuk menegakan keadilan dan kemanusiaan sampai kapanpun,” tandasnya.

Sejumlah aktivis 98 ikut hadir dalam diskusi tersebut. Salah satunya Firman Tendry. Dalam diskusi tersebut dia berpendapat bahwa pemerintahan mendatang merupakan pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi jilid III. Sebab, Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming ke depan akan melanjutkan kebijakan dari Jokowi.

“Jika itu benar terjadi berarti beneran dugaan kita sekarang ini, bahwa Jokowi periode ketiga berubah bentuk kepada Prabowo," tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus berpendapat ada dua pelanggaran pada peristiwa 27 Juli 1996. Yakni pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia.

"Aspek pelanggaran hukum memang pada waktu awal-awal reformasi, itu posisi kini berjalan bagus. Banyak orang, banyak pelaku dari unsur TNI-Polri yang jadi tersangka, pelaku dari unsur DPP PDI, Soerjadi juga jadi tersangka, berkas perkaranya dilimpahkan  ke kejaksaan, tetapi perkaranya tidak pernah diteruskan ke pengadilan," terang Petrus.

Yadhi Basma, salah seorang aktivis 98 asal Sulteng menceritakan sedikit pengalamannya saat peristiwa 27 Juli silam. “Tahun 96 dulu, saya dan teman-teman aktivis dari Palu masuk Jakarta naik kapal barang demi satu tujuan, solidaritas dan bangkitkan semangat perlawanan terhadap rezim Presiden Soeharto pada masa itu,” kata salah seorang yang ikut mendirikan Pena 98 bersama Adian Napitupulu ini.

Selain Petrus dan Firman, turut hadir narasumber lainnya, yakni Aidil Fitri aktivis Kudatuli, Dhia Prekasha Yoedha selaku jurnalis senior, Bob Randilawe dari SPIPD, dan Ronald Mulia Sitorus selaku Ketua Posko Pemuda dan Mahasiswa. Acara ini dimoderatori oleh Erwin Usman, aktivis 98 asal Kendari.

 

KEYWORD :

Peristiwa 27 Juli petisi pengadilan HAM berat reformasi HAM aktivis 98 Mustar Bonaventura




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :