Sabtu, 23/11/2024 03:30 WIB

FGD bersama Forum Aspirasi Konstitusi, Ketua MPR Ingatkan Kembali UUD 1945 Bukan Kitab Suci

FGD bersama Forum Aspirasi Konstitusi, Ketua MPR Ingatkan Kembali UUD 1945 Bukan Kitab Suci

Ketua MPR, Bambang Soesatyo. (Foto: Humas MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) sepakat dengan Ketua Forum Aspirasi Konstitusi sekaligus Anggota DPD RI dan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa UUD 1945 bukanlah kita suci yang tabu untuk dirubah. Justru, harus terus menerus dilakukan evaluasi secara mendalam agar UUD 1945 dapat menjawab tantangan jaman.

Setelah melakukan empat kali amandemen, terakhir pada tahun 2002, dibutuhkan penataan kembali sistem politik ketatanegaraan pasca 25 tahun reformasi untuk melihat sejauh mana konstitusi telah bekerja untuk kemajuan bangsa. Berkaca pada negara lain, Amerika Serikat yang telah 27 kali melakukan amandemen konstitusi, saat ini tengah menyiapkan kembali amandemen konstitusinya untuk ke-28 kali.

"Evaluasi konstitusi bukan semata pada penataan kewenangan lembaga negara, seperti halnya penguatan MPR RI baik dari sisi kewenangan maupun keanggotaan. Melainkan juga pada perbaikan redaksional dalam penulisan konstitusi. Oleh Prof. Jimly disebut dengan merakit, merajut, dan menjahit kembali naskah konstitusi pasca reformasi. Hasil kajian tentang perubahan ke-5 UUD NRI 1945 ini akan menjadi bahan rekomendasi pimpinan MPR RI sekarang kepada pimpinan MPR RI periode 2024-2029," ujar Bamsoet usai membuka Focus Group Discussion (FGD) bersama Forum Aspirasi Konstitusi tentang Penataan dan Penguatan Kelembagaan MPR-DPR-DPD melalui Perubahan ke-5 UUD di MPR RI, Jakarta, Senin (29/7/24).

Bamsoet menjelaskan, terkait penataan kewenangan lembaga negara, Forum Aspirasi Konstitusi sudah menyerap aspirasi dari berbagai kalangan yang menginginkan agar MPR bisa kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara, sehingga bisa berperan aktif menyelesaikan berbagai dispute kebuntuan politik dan hukum yang terjadi di negeri ini. Dari sisi keanggotaan, selain diisi anggota DPR sebagai representasi politik, dan anggota DPD RI sebagai representasi golongan, keanggotaan MPR RI juga perlu diisi kembali oleh Utusan Golongan.

"Kehadiran Utusan Golongan sejak awal kemerdekaan telah diinisiasi oleh para founding fathers kita, dengan semangat tidak boleh ada satupun elemen bangsa yang ditinggalkan. Reformasi justru menghapuskan keberadaannya. Tidak heran jika kini banyak kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya karena mereka merasa tidak dilibatkan, bahkan merasa ditinggalkan," jelas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan, keberadaan Utusan Golongan yang mewakili golongan tertentu juga terdapat di berbagai parlemen negara maju. Seperti di Inggris melalui House of Lords yang diisi para bangsawan dan kalangan agamawan. Maupun di Parlemen India, Rajya Sabha, yang diisi orang-orang yang memiliki keahlian atau pengalaman khusus dalam berbagai bidang, seperti seni, sastra, sains, dan pelayanan sosial.

"Esensi dari demokrasi bukan hanya tentang keterpilihan melainkan juga tentang keterwakilan. Tidak semua yang dipilih melalui Pemilu bisa mewakili aspirasi rakyat. Untuk itu perlu dilengkapi dengan Utusan Golongan yang bisa mewakili kelompok masyarakat tertentu seperti Golongan Seniman, Golongan Budayawan, Golongan Adat, Golongan Agamawan, hingga Golongan Profesi seperti guru, wartawan, dan dokter. Keberadaan Utusan Golongan bisa memastikan bahwa setiap kelompok masyarakat dapat memberikan perspektif dan masukan yang berharga dalam proses legislatif maupun dalam proses kehidupan kebangsaan dalam arti yang lebih luas," pungkas Bamsoet.

KEYWORD :

Kinerja MPR Bambang Soesatyo UUD 1945 Konstitusi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :