Penelitian PraxiSurvey IV bertajuk Sentimen Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Minerba di Indonesia Tahun 2024. (Foto: Jurnas/Ira).
Jakarta, Jurnas.com- Diskursus mengenai program hilirisasi mineral dan batubara (minerba) di Indonesia masih banyak direlasikan dengan persoalan politik serta kebijakan makro pemerintah. Dalam diskursus ini masih terjadi kesenjangan narasi isu hilirisasi antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu kesimpulan ini merupakan hasil dari penelitian PraxiSurvey IV bertajuk “Sentimen Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Minerba di Indonesia Tahun 2024”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi kasus kata kunci (keyword) hilirisasi yang berasal dari percakapan warganet pada platform Twitter (X), Facebook (Fanpage), Youtube, Instagram, dan TikTok selama rentang waktu 1 Januari – 30 Juni 2024.
Director of Public Affairs Praxis PR, Sofyan Herbowo menjelaskan penelitian ini dilakukan untuk memotret sejauh mana persepsi publik terhadap narasi kebijakan hilirisasi minerba di Indonesia selama tahun 2024. Dalam survei ini terdapat 26.142 percakapan dengan dominasi percakapan bersentimen negatif.
“Hilirisasi adalah salah satu lema yang populer di publik, merujuk pada kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil alam melalui berbagai langkah turunan,” kata Sofyan saat menyampaikan paparan survei yang digelar di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Pada paparan hasil survei ini, hadir sebagai pembedah adalah Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia; Direktur Eksekutif INDEF Dr. Esther Sri Astuti; dan pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Fahmy Radhi. Berdasarkan hasil survei ditemukan adanya kesenjangan narasi yang mengakibatkan perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat terhadap program hilirisasi minerba.
Dalam sosialisasinya, pemerintah masih mengedepankan isu pertumbuhan ekonomi dan penciptaan nilai tambah ekonomi sebagai manfaat dari program hilirisasi. Sedangkan narasi yang muncul dari masyarakat sipil terkait hilirisasi adalah persoalan-persoalan yang menyangkut ruang hidup, lingkungan-sosial, dan eksistensi masyarakat adat.
“Kami memahami bahwa hilirisasi memiliki manfaat secara jangka panjang. Sedangkan yang dinarasikan oleh masyarakat sipil saat ini adalah dampak negatif yang sedang dirasakan sekarang. Artinya, memang ada kesenjangan yang cukup besar antara narasi pemerintah dan masyarakat sipil yang menyuarakan keluhan dari masyarakat terdampak,” klanjut Sofyan.
Dari hasil survei ini, Sofyan memberikan rekomendasi strategis bagi pemerintah, industry maupun kelompok masyarakat sipil. Dalam hal ini, kata dia, perlu disusun dan dibangun narasi tentang hilirisasi minerba yang tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi tapi harus memperhatikan biaya eksternalitas serta dampak hilirisasi seperti dampak lingkungan, sosial, dan lain-lain. Sofyan juga menyarankan agar dibuka ruang dialog dengan para aktor dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini cukup kritis dengan kebijakan hilirisasi minerba.
“Kami juga merekomendasikan untuk mendorong para pelaku usaha pertambangan atau industri ekstraktif melakukan analisis dampak lingkungan dan sosial untuk menghindari kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akibat praktik bisnisnya,” jelasnya.
Pakar Ekonomi Energi UGM, Dr. Fahmy Radhi mengaminkan kajian SNA Praxis PR. Menurutnya, kesenjangan informasi tersebut timbul karena belum adanya pemahaman yang solid dari pemerintah mengenai konsep hilirisasi. Masing-masing kementerian, kata dia, masih mempunyai definisi sendiri dan berbeda tentang hilirisasi. Hal itu yang membuat terjadi kesenjangan narasi hilirisasi antara pemerintah dan publik.
"Kesenjangan narasi ini yang harus dijembatani dengan strategi komunikasi yang komprehensif dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang ada,” kata Fahmy.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia menyetujui pernyataan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya mendukung penuh agenda kebijakan hilirisasi pemerintah. Akan tetapi, masih terdapat kesenjangan pemahaman terhadap makna hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batubara.
“Publik melihatnya hilirisasi itu sebagai sesuatu yang disamaratakan, padahal karakteristik dari masing-masing mineral dan bahkan batu bara berbeda satu sama lain. Perbedaan karakteristik tersebut akan berpengaruh terhadap keekonomian. Publik juga cenderung melihat keberlangsungan dari hilirisasi mineral itu semata-mata peran dari industri pertambangan. Padahal, sejatinya keberhasilan proses hilirisasi itu juga dipengaruhi ketersediaan industry domestik yang bisa menyerap produk hilirisasi. Maka, kesenjangan pemahaman mengenai hilirisasi itu sendiri yang perlu dikaji kembali,” jelas Hendra.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Esther Sri Astuti turut mengapresiasi upaya Praxis PR dalam memetakan persepsi publik terhadap kebijakan hilirisasi minerba.
“Hilirisasi meningkatkan investasi dan kapasitas ekonomi yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai investasi dan produk domestik bruto, tetapi belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi,” terang Esther.
Secara umum, dari survei ini percakapan mayoritas terjadi pada platform X sebesar 40,45% dengan didominasi percakapan bersentimen negatif. Percakapan lainnya terjadi juga di YouTube (28,76%), Instagram (21,20%), Fanpage Facebook (5,6%), dan TikTok (3,91%). Secara gender, percakapan didominasi oleh kelompok pria yang didominasi oleh generasi milenial atau Y. Dalam percakapan isu hilirisasi, akun unique mendominasi percakapan sebesar 39% dan akun cyborg serta robot masing-masing 35% dan 26%.
KEYWORD :Penelitian PraxiSurvey Hilirisasi di Indonesia Pemerintah